powered by Google

Asal nama Ari Surhendro Jajit dan wayang Indrajit, anak Rahwana

Senin, 05 Januari 2015



Indrajit, anak Rahwana



From: "Chairil Anom 
Date: Mon, 5 Jan 2015 22:22:56 -0800
Subject: [Senyum-ITB] Re: [IA-ITB] [W] Setan dan kejahatan



Matur nuwun mas bro.

Sayah dulu mau dinamain Indrajit sama nenek, tapi ibu keberatan, karena Indrajit konotasinya "buto".
Tapi saat tanya ke sesepuh yang paham pewayangan, katanya Indrajit itu tidak jelek. Bagaimanapun juga, Indrajit pahlawan di negaranya. Membela ortu. Dan termasuk sakti mondroguno ya? Buktinya bisa ngalahan betoro Indra. Dan kalahnyapun sehabis dikroyok :-)
Jadi, tergantung bagaimana menyikapi yaaa. Hehehe menghibur diri.

Waktu sayah lahir, malam hari, di radio sedang ada wayang. Saat itu, Rahwono, sedang panggil anaknya : Jiiittttttttt...anak anunggggg.....
Suara Rahwono, buto, tahu sendiri, keras menggelegar. Ditengah sepinya malam.
Oleh sebab itu nenek ingin memberi nama sayah, yang lahir pas Rahwono tereak panggil anaknya, dengan nama Indrajit. Karena nyokap keberatan terkait image "buto", diambil jalan kompromi. Nama sayah bukan Indrajit, tapi panggilan sayangnya Jajit (Jajid).

Gitu ceunah.


Lur, m76
Ari Surhendro Jajit
Naskahnya sudah sayah print. Kamsia.

---------------------------------


2015-01-05 17:32 GMT-08:00 t_tedjakusuma :


SETAN DAN KEJAHATAN
Apakah Indrajit punya sifat yang sama dengan ayahnya, Rahwana?  Ataukah ia seorang kesatria yang terlanjur berada dalam sebuah lingkungan yang korup, sehingga mau tidak mau ia harus membela negaranya menghadapi serangan pasukan Sri Rama?
Indrajit seorang kesatria raksasa (memangnya ada ‘kesatria raksasa’?) yang memiliki banyak kesaktian.  Nama Indrajit sendiri berarti ‘Penakluk Indra’, karena ia pernah ikut ayahnya menyerang kahyangan dan Indrajit berhasil dan mengalahkan Betara Indra.
Pada waktu Alengka diserang oleh Rama yang bermaksud mengambil kembali istrinya Dewi Sinta, Indrajit dengan gagah berani menghadapi pasukan Rama.  Mula-mula ia mengeluarkan ajiannya berupa ratusan ekor naga di malam hari untuk membunuh bala tentara kera anak buah Sugriwa yang sedang tertidur.  Namun esok harinya para kera itu dapat dihidupkan kembali oleh Sri Rama setelah diobati dengan tumbuh-tumbuhan Latamaosandi yang diambil Hanoman dari gunung Maliawan.  Setelah gagal dengan rencana ini Indrajit mengeluarkan ajian lainnya, yaitu panah Herbirawa, yang mampu melesat sendiri setelah diberi mantra (mungkin ini cikal bakal rudal di jaman sekarang).  Panah Herbirawa menerjang pasukan monyet anak buah Hanoman dan Sugriwa sehingga mati bergelimpangan. Namun Rama berhasil menaklukkan panah ini dengan membenturkannya dengan mahkotanya, dan panah itu pun berubah menjadi sebuah sumping.  Dengan kekagagalan kedua ini Indrajit maju sendirian menghadapi ratusan bala tentara kera di bawah pimpinan Hanggada anak Hanoman. Pertempuran berlangsung sengit, dengan Indrajit di satu pihak dan Hanggada, Laksmana dan seluruh pasukan monyet di pihak lain.  Indrajit kemudian mengeluarkan panah Kalabardani, dan membidikkannya ke arah Sri Rama yang sedang menyaksikan pertempuran tersebut di kejauhan.  Namun Rama berhasil mengapit menangkap panah itu.  Akhirnya Laksamana menghadapi Indrajit dan mengeluarkan panah Surawijaya.  Ia pun membidikkan panah sakti itu ke arah Indrajit dan berhasil membunuhnya.  Habislah riwayat sang putra mahkota Alengka itu.
--
Apakah Indrajit dapat disimbolkan seperti halnya ayahnya, Rahwana, sebagai biang kejahatan?  Jangankan Indrajit, Rahwana pun adalah tokoh kontroversial, karena dalam versi cerita lain Rahwana diceritakan sebagai pahlawan, bukan sebagi penjahat.   Apalagi Indrajit, anaknya, yang notabene tidak secara langsung melakukan kejahatan seperti Rahwana yang menculik Dewi Sinta.  Tapi kalau kita mengikuti versi pewayangan, Indrajit bisa dipandang mendukung ayahnya untuk berbuat kejahatan, karena tak ada cerita ia menasihati ayahnya untuk mengembalikan Dewi Sinta, misalnya (beda dengan Wibiksana yang selalu menasihati kakaknya, atau Kumbakarna yang sebenarnya enggan untuk berperang). 
Tulisan di bawah ini tidak sepenuhnya adil dialamatkan kepada Indrajit.  Tulisan ini lebih cocok dialamatkan pada Rahwana, sebagai simbol kejahatan (sebagaimana versi pewayangan).  Tapi baiklah kita anggap Indrajit bersekutu dengan ayahnya untuk melakukan kejahatan tersebut. Semoga yang request cerita Indrajit tidak keberatan (ya Pak Chairil Anom...), karena cerita Indrajit yang hanya secuil di atas dan karena Indrajit diasosiasikan dengan kejahatan.
Intinya kutipan di bawah membahas syeitan dan tipu dayanya kepada manusia.  Dalam Al-Quran, kejahatan dipersonifikasikan dengan syeitan.  Syeitan ini sebenarnya tidak memiliki kekuatan, dia hanya bisa merayu, menggoda manusia untuk melakukan perbuatan jahat/buruk.  Hanya apabila godaan syeitan ini bersinergi dengan sisi buruk manusia-lah, maka manusia akan melakukan perbuatan jahat, atau dengan kata lain mengikuti jejak syeitan.  Karena tipu daya syeitan ini pula (dan karena hawa nafsu manusia), manusia sering menganggap bahwa perbuatan buruknya itu sebuah kebajikan (kita mungkin sering melihat di tayangan televisi koruptor yang memperlihatkan wajah tak bersalah, bahkan seperti merasa bangga – mungkin karena menganggap perbuatannya adalah sebuah kebajikan). Walaupun pada awalnya syeitan ini menggoda manusia untuk melakukan kejahatan/keburukan, setelah manusia itu melakukan kejahatan tersebut syeitan berlepas diri darinya, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak.  Karena lihainya tipuan-tipuan syeitan ini, banyak manusia yang tertipu dan mengikuti jejak syeitan (yang bersekutu dengan hawa nafsunya), kecuali orang-orang yang memiliki kesadaran, kendali diri dan ‘cahaya spiritual’ (atau yang diistilahkan sebagai taqwa).  Karena tipu daya syeitan itu lemah, dan karena sebenarnya kejahatan itu lemah, maka pada akhirnya kebaikan-lah yang akan menang.  
Demikian ringkasan kutipan di bawah (kok ringkasan panjang sekali...)
Salam wayang,
Teddy
---
SETAN DAN KEJAHATAN
* Kejahatan sering dipersonifikasikan Al-Quran sebagai iblis atau syeitan, walaupun personifikasi yang kedua lebih lemah daripada yang pertama.  Khususnya di dalam surat-surat yang diturunkan di Makkah, Al-Quran sering menyebutkan istilah syeitan dalam bentuk jamaknya.  Kadang-kadang istilah ini ditujukan pula – mungkin secara kiasan – kepada manusia, misalnya: “Tetapi ketika mereka (orang-orang munafik tersebut) sendirian dengan syeitan-syeitan mereka sendiri…” (2:14); “Demikianlah bagi setiap Rasul Kami tetapkan musuh-musuh, syeitan-syeitan yang terdiri dari manusia dan jin.” (6:112).
* Karena tipu muslihat syeitan yang akan mencelakakan manusia dan kesia-siaan manusia jika mengikutinya – sesungguhnya tipu muslihat syeitan di dalam keputusasaannya itu bersifat kontraproduktif – maka Al-Quran sering menyerukan kepada manusia agar tidak “mengikuti jejak syeitan”, karena jejak syetan hanya dapat mengantarkan manusia kepada kehancuran dirinya sendiri dan ia adalah musuh manusia yang sesungguhnya.  Jadi “jejak” syeitan itu berarti setiap kejahatan yang dilakukan manusia, baik yang berupa pemborosan, korupsi, perzinahan, dan lain sebagainya.  Al-Quran mengatakan:”Wahai manusia! Makanlah apa-apa yang halal dan baik dari bumi (segala sesuatu yang baik untuk dimakan dan diminum), tetapi jangan kalian ikuti langkah syeitan karena ia adalah musuhmu yang nyata.” (QS 2:168).  Kemudian Al-Quran melanjutkan:
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat mubazir adalah saudara-saudara syeitan.” (QS 17:27)
* Kenyataan bahwa manusia secara bersamaan memiliki kecenderungan-kecenderungan baik dan jahat membuat dia berbeda dari malaikat.  Malaikat tidak memiliki kecenderungan-kecenderungan jahat dan oleh karena itu secara otomatis ia adalah “baik”.  Kenyataan tersebut membuat manusia hampir mirip dengan jin walaupun dibandingkan dengan manusia pihak yang terakhir ini lebih cenderung kepada kejahatan.  Di dalam diri manusia senantiasa ada perjuangan di antara kedua kecenderungan tersebut.  Tetapi kecenderungan-kecenderungan jahat dapat menjadi sedemikian kuatnya karena adanya syeitan dengan aneka-ragam tipu muslihatnya (termasuk: membuat manusia merasa tenang dan puas dengan dirinya sendiri) dan karena manusia pada dasarnya cenderung kepada hal-hal yang gampang dicapai (dan, yang selanjutnya, karena kesanggupan manusia untuk menipu dirinya sendiri) sehingga kejahatan terlihat olehnya sebagai kebajikan.
* Kekuatan syeitan itu sesungguhnya tergantung kepada kelemahan manusia.  Syeitan sendiri sering dinyatakan Al-Quran sebagai pengingkar Allah (37:7, 22:3, 4:117), tetapi semua pernyataan itu hanyalah untuk menunjukkan keputusasaannya.  Di hari pengadilan nanti, syeitan akan mengakui kesia-siaan usahanya dan bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai kekuasaan terhadap diri manusia.  Pernyataan Al-Quran, “Syeitan tidak menjanjikan sesuatupun kepada mereka kecuali dusta” (17:64, 4:120) jelas sekali berarti bahwa janji-janjinya tidak dapat dipegang.  Kemudian Al-Quran mengatakan, “Orang-orang beriman berjuang di atas jalan Allah sedang orang-orang yang ingkar berjuang di jalan thagut; oleh karena itu, wahai kaum Muslimin, perangilah sahabat-sahabat syeitan karena siasat syeitan adalah lemah!” (4:76).  Dari kesadaran bahwa kejahatan pada dasarnya lemah sedang kebenaran kuat lahirlah keyakinan teguh yang berdasarkan Al-Quran bahwa kepalsuan dan kejahatan dapat dan akan dikalahkan: “Mereka adalah partai syeitan – sesungguhnya partai syeitan adalah pihak yang kalah.”  (58:19); “Partai Allah-lah yang akan memperoleh kemenangan.” (5:56); “Allah berkenan kepada mereka dan mereka berkenan kepada Allah; mereka inilah partai Allah – sesungguhnya partai Allah-lah yang akan memperoleh keberhasilan (kemenangan)” (58:22). 
* Di dalam ide bahwa manusia dapat mengikuti “jejak” syeitan itu terdapat dua buah aspek.  Aspek yang pertama: Syeitan tidak pernah memaksa – memang ia tidak dapat memaksa – manusia untuk melakukan kejahatan tetapi ia mencoba memikat atau menggoda manusia untuk menjadi mangsanya.  Siasat syeitan adalah menggambarkan tujuan-tujuan kecil yang gampang tercapai sebagai hal-hal yang sedemikian menggiurkan sehingga banyak manusia yang terperdaya, kebanyakannya untuk sementara tetapi ada pula yang untuk selama-lamanya; pihak yang terakhir ini dikatakan sebagai “sahabat-sahabat” atau “partai” syeitan. Aspek yang kedua: Jejak syeitan hanya dapat mengantarkan manusia kepada kehancuran; sama halnya dengan jejak yang sengaja dibuat unutk menjerumuskan seseorang ke jurang.  Di dalam hal ini yang paling penting bagi manusia adalah mengenal jejak syeitan itu; jika tidak maka sangat sulit – mungkin pula mustahil – baginya untuk menghindari kehancuran.  Jadi problema yang sesungguhnya terletak di dalam diri manusia itu sendiri karena ia merupakan campuran kebaikan dengan kejahatan, kebodohan dengan pengetahuan, dan kekuatan dengan ketidakberdayaan.  Kunci pertahanan manusia terhadap godaan syeitan adalah taqwa. Secara literal taqwa berarti pertahanan.  Tetapi perkataan ini pun berarti semacam cahaya di dalam diri manusia, api spiritual yang harus dinyalakan manusia dari dalam dirinya sendiri agar ia dapat membedakan kebenaran dari kepalsuan, hal-hal yang riil dari hal-hal yang khayal, hal-hal yang abadi dari hal-hal yang bersifat sementara, dan lain-lain sebagainya.   Begitu seorang manusia menyalakan api spiritual itu – dan taqwa sudah tentu dapat mengalami penyempurnaan – maka ia dapat mengenal jejak syeitan dan tidak akan tergoda untuk mengikuti jejak tersebut. 
* Syeitan akan mengkhianati “sahabat-sahabat”-nya dan meninggalkan mereka di dalam kesulitan.  Selanjutnya dikatakan bahwa “Syeitan akan meninggalkan manusia” (25:29).  Bahkan di dalam kehidupan dunia ini, setelah manusia menyerah kepada tipu daya syeitan, syeitan tidak mau ikut memikul tanggung jawab: “Syeitan-lah yang mula-mula mengajak manusia untuk mengingkari Allah, tetapi setelah manusia menuruti iapun berkata, “Aku meninggalkan kalian, aku takut kepada Allah, Tuhan alam semesta’ “ (59:16).  Jadi yang sesungguhnya merupakan bahaya bagi manusia bukanlah kekuatan syeitan, tetapi sikap manusia sendiri yang tidak mengerahkan kekuatannya untuk melawan bujukan syeitan.  Godaan syeitan sedemikian menarik hati dan pikirannya sehingga ia “terbenam” di dalam kesenangan duniawi dan “melupakan”  akhirat: tujuan-tujuannya yang riil, nyata, berjangka panjang, dan penting atau tujuan-tujuan yang luhur.  Manusia berpandangan pendek dan sempit – sifat inilah yang merupakan kelemahannya yang utama.  Dan kelemahan inilah yang dimanfaatkan oleh syeitan.  Jadi dapat dikatakan bahwa syeitan hanyalah sebuah kekuatan yang mengobarkan kecenderungan-kecenderungan jahat di dalam diri manusia.  Jika keduanya berpadu maka perpaduan itu menjadi kuat sekali.  Jika manusia tidak menginginkan aliansi yang kuat dengan syeitan ini, maka yang penting dilakukannya adalah dengan sadar bersekutu dengan Allah untuk mengokohkan dan memperkembangkan kecenderungan-kecenderungan baik di dalam dirinya.
Dikutip dari: “Tema Pokok Al-Qur’an”, Fazlur Rahman.

Salam wayang,
Teddy

0 comments:

Posting Komentar

Pencarian

10 Halaman Favorit

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP