Peringkat Indeks Kebahagiaan, Dimana Indonesia?
Senin, 18 Februari 2013
Peringkat Indeks Kebahagiaan, Dimana Indonesia?
Oleh: Irvan Sembiring
Sudah bahagiakan Anda? Kalau sudah, apa yang membuat Anda bahagia? Harta? Jabatan? Pekerjaan? Keluarga? Pacar? Ibadah? Agama?
Kebahagiaan secara kasat mata bersifat relatif. Ketika kita menengok ke negeri Jepang, kita langsung berimpresi betapa bahagianya orang Jepang. Mereka warga negara makmur, mampu mencukupi kebutuhan dan keinginan, bahkan bisa liburan keliling dunia. Pemerintahannya bersih, hukum dijalankan tegas, masyarakatnya terkenal disiplin dan tepat waktu.
Kita tengok negara Arab Saudi. Pastilah warganya amat sangat bahagia. Negara petrodollar ini memiliki cadangan minyak bumi terbesar di dunia. Produksi minyak bumi mencapai 9.000.000 bph (bandingkan dengan Indonesia yang hanya 950.00 bph).
Limpahan kebahagiaan ditambah lagi dengan kunjungan jutaan warga dunia mengunjungi Rumah Tuhan, Ka’bah di Mekkah.
Limpahan kebahagiaan ditambah lagi dengan kunjungan jutaan warga dunia mengunjungi Rumah Tuhan, Ka’bah di Mekkah.
“Orang Indonesia No 23 Paling Bahagia, mengalahkan negara adidaya Amerika Serikat di peringkat 150.” Begitulah kira sekelumit paparan tentang sebuah penelitian yang mengukur indeks kebahagiaan negara-negara di dunia. Sebuah survei ”Indeks Planet Bahagia” mengukur indeks di 178 negara.
Indeks ini disusun berdasarkan tingkat pengeluaran masyarakat, usia harapan hidup dan tingkat kebahagiaan, bukan dengan tolok ukur kesuksesan ekonomi suatu negara seperti produk domestik bruto (PDB). Studi itu disusun oleh lembaga pengkajian the New Economics Foundation (NEF).
Tujuan indeks itu adalah memperlihatkan bahwa kebahagiaan tidak harus terkait dengan kekayaan dan tingkat pengeluaran yang tinggi.
Indeks ini disusun berdasarkan tingkat pengeluaran masyarakat, usia harapan hidup dan tingkat kebahagiaan, bukan dengan tolok ukur kesuksesan ekonomi suatu negara seperti produk domestik bruto (PDB). Studi itu disusun oleh lembaga pengkajian the New Economics Foundation (NEF).
Tujuan indeks itu adalah memperlihatkan bahwa kebahagiaan tidak harus terkait dengan kekayaan dan tingkat pengeluaran yang tinggi.
Negara yang dinobatkan sebagai negara paling bahagia adalah Vanuatu. Vanuatu adalah negara kepulauan kecil di Pasifik Selatan dengan penduduk 209.000 orang dan bukan negara kaya. Perekonomiannya tergantung pada pertanian berskala kecil dan industri pariwisata. PDB Vanuatu hanya menempati peringkat ke-207 dari 233 negara. Namun, masyarakat negeri ini tetap merasa bahagia.
Di peringkat lima besar, ditempati negara-negara Amerika Latin dan Tengah serta Karibia, yaitu Kolombia, Kosta Rika, Dominika dan Panama.
Sedangkan Zimbabwe menempati peringkat terbawah daftar ini. Di peringkat lima besar terbawah adalah Swaziland, Burundi, Republik Demokratik Kongo dan Ukraina.
Sementara negara-negara makmur ternyata bukan termasuk yang terlalu bahagia.Inggris menempati peringkat ke-108, Jerman ke-81, Jepang ke-95 dan Amerika Serikat di peringkat ke-150. Sedangkan Rusia di tempat ke-172 dan Italia di peringkat-66.
Rahasia kebahagiaan rakyat Vanuatu adalah mereka terbiasa hidup dengan kondisi yang serba minim dan terbatas. Mereka bukan masyarakat yang konsumtif. Kehidupan masyarakat di sana adalah tentang keluarga, teman dan berbuat baik untuk orang lain.
Rahasia kebahagiaan rakyat Vanuatu adalah mereka terbiasa hidup dengan kondisi yang serba minim dan terbatas. Mereka bukan masyarakat yang konsumtif. Kehidupan masyarakat di sana adalah tentang keluarga, teman dan berbuat baik untuk orang lain.
Seperti dikatakan di atas, Ternyata masyarakat Indonesia dinilai cukup bahagia karena menempati peringkat ke-23. Namun, Filipina masih sedikit lebih baik di posisi ke-17 sedangkan Thailand di posisi ke-32.
Untuk tingkat lokal, atau dalam negeri juga diadakan survey tingkat kebahagiaan di kota-kota besar Indonesia. Survey menarik yang dilakukan oleh Frontier Consulting Group menunjukkan bahwa sebagian besar orang Indonesia tidak merasa bahagia atas kehidupan yang mereka jalani. Secara nasional, indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia rata-rata hanya 47.96 dalam skala 1-100.
Survey itu juga mengungkap dari 6 kota besar yang masuk dalam jangkauan survey ini, indeks kebahagiaan orang di Jakarta hanya 46,20 yang itu lebih rendah dari indeks kebahagiaan masyarakat yang tinggal di Semarang (48.74), Makassar (47.95), Bandung (47.88), dan Surabaya (47.19). Jakarta hanya sedikit lebih unggul dari Medan (46.12).
Survey ini juga melihat tingkat kebahagiaan dari jenis pekerjaan. Kelompok yang paling bahagia ternyata mereka yang bekerja sebagi Profesional (indeks 52.88). Disusul oleh kelompok Middle Management (50.74), TNI/ABRI (50.19), Employee/staff/officer (49.83), dan Entrepneneur (49.00) di Lima Besar. Posisi paling buncit yang paling tidak bahagia justru orang-orang yang duduk di Top Management (40.34). Malahan kelompok ini masih lebih rendah indeks kebahagiaannya dibanding Unemployee alias pengangguran (44.27).
Saya jadi teringat dengan kawan saya, orang Jogja. Dia pernah bercerita tentang kedahsyatan gempa yang memporak porandakan rumahnya dan kempungnya di Sleman. Waktu itu, katanya, masih pagi. Tiba-tiba bumi bergoncang. Langsung dia melompat dari tempat tidur dan berlari keluar. Di luar sudah berkumpul semua anngota keluarganya. Mereka duduk sambil menunggu guncangan gempa berhenti. Setelah gempa reda, mereka melihat kondisi rumah, terdapat kerusakan tapi tidak samapi rubuh.
Menariknya, bukannya mereka sekeluarga membereskan rumah atau mengeluh. Keluarga teman saya ini malah menggelar tikar di halaman rumah mereka, duduk bersama sambil memetik gitar. Alunan lagu Jawa dilantunkan bersama. “Menghilangkan kegalauan dan menenangkan pikiran”, istilah kawan saya. Luar biasa!
Kondisi berbeda saya alami sendiri ketika gempa mengguncang pantai Barat Sumatera Utara, berpusat di dekat pulau Nias tahun 2006 silam. Walaupun pusatnya jauh, gempa masih saja terasa kuat dan dahsyat. Waktu itu malam buta. Jam menunjukkan pukul 11.00 tatkala kamar saya berguncang. Saya lari terbirit-birit keluar. Listrik padam total, untungnya bulan bersinar terang. Saya dan keluarga telah berada di luar. Gempa terasa sangat kuat dan lama. Pohon kelapa berkiba-kibar seperti ditiup angin pantai. Saya sampai tidak sanggup berdiri, jadinya jongkok. Bapak saya sampai mengumandangkan azan keras-keras. Semua warga kampung panik dan menjerit.
Kehebohan tidak sampai di situ. Kira-kira 30 menit setelah gempa berhenti, ada kabar bahwa air laut sudah naik dan menenggelamkan kota saya. Jarak laut ke desa saya sekitar 5 km. Tsunami datang, pikir kami. Membayangkan betapa ngerinya lumatan tsunami di provinsi tetangga, Aceh, 2004 silam, kami satu kampung berlari tunggang langgang menuju perbukitan. Berlari di tengah malam buta, hanya diterangi bulan purnama. Sesampai di bukit banyak anak-anak yang menangis, ibunya juga menangis membayangkan kampungnya akan tenggelam.
Namun satu jam berlaru, air “tsunami” tak kunjung datang. Ternyata kabar itu hanya berita bohong orang-orang tak bertanggung jawab. Oalah..!!
Dari situ saya dapat melihat kaitan antara kebahagiaan dan manajemen emosi. Orang yang merasa bahagia cenderung tidak panik dan selalu tenang. Mereka mampu berpikir jernih dalam kondisi tertekan sekalipun. Dan sebaliknya.
0 comments:
Posting Komentar