Menghargai Pendapat Orang Lain
Selasa, 30 Agustus 2011
Menghargai Pendapat Orang Lain
Oleh : Widjajono Partowidagdo
Budaya ingin tahu dan mempunyai keterbukaan pikiran telah menjadikan bangsa-bangsa besar di dunia, mencintai filsafat, dialog, dan belajar merupakan persyaratan untuk menjadi bangsa yang besar. Seorang filsuf mengetahui bahwa dalam kenyataannya, hanya sedikit saja yang dia ketahui. Itulah sebabnya dia selalu berusaha untuk meraih pengetahuan sejati.
Socrates adalah salah seorang manusia langka ini sehingga dia merasa gelisah karena hanya sedikit sekali yang dia ketahui. Socrates berkata, “Hanya satu yang aku tahu, bahwa aku tidak tahu apa-apa.� Filsafat Yunani mengatakan bahwa orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu. Itulah sebabnya, budaya menganjurkan belajar dan mencari kebenaran. Socrates menyatakan, “Orang yang mengetahui apa yang baik akan berbuat baik.� Socrates yang ibunya adalah seorang bidan, sering mengatakan bahwa ilmunya adalah seperti ilmu bidan. Dia tidak melahirkan sendiri anak itu, tetapi dia ada untuk membantu selama kelahiran. Begitu pula, Socrates menganggap tugasnya seperti membantu orang-orang melahirkan “wawasan yang benar,� sebab pemahaman harus timbul dari dalam diri sendiri. Itu tidak dapat ditanamkan oleh orang lain. Dan hanya pemahaman yang timbul dari dalam itulah yang dapat menuntun pada wawasan yang benar. Dengan berlagak bodoh, Socrates memaksa orang-orang yang dia temui untuk menggunakan akal sehat mereka.
Dalam buku Sophie’s World karangan Jostein Gaarder, Sophie (seorang remaja, murid sekolah menengah) menyatakan bahwa perbedaan antara guru sekolah dan filsuf adalah bahwa guru sekolah mengira mereka tahu banyak hal yang mereka paksakan masuk ke tenggorokan muridnya. Filsuf berusaha untuk memahami segala sesuatu bersama murid-murid mereka. Ini sesuai dengan ide masyarakat pembelajar dari Peter Senge, bahwa masyarakat bersama-sama belajar untuk memperbaiki keadaannya.
Di penjara Galileo menulis kepada Christina dari Loraine bahwa pencarian kebenaran oleh ilmuwan dilakukan untuk membuat mereka melihat apa yang tidak mereka lihat, tidak untuk memahami apa yang telah mereka pahami dan ketika mencari, adalah untuk menemukan lawan dari yang mereka temukan.
Mohon tidak merasa benar sendiri. Perbedaan pendapat hanya bermakna apabila kita menghargai pendapat orang lain. Yang dicari dari dialog dan diskusi adalah kebenaran serta kebersamaan dan bukan kemenangan atau pembenaran. Kalau kebenaran serta kebersamaan sudah dicapai maka semua pihak menang.
Kita perlu belajar dari sejarah. Menurut Cak Nur (Prof.Dr. Nurcholis Madjid) mandeknya pengetahuan dalam dunia Islam (di masa lalu) adalah akibat melemahnya kondisi sosial politik dan ekonomi dunia Islam disebabkan percekcokan yang tidak habis-habisnya di kalangan mereka, tidak dalam bidang-bidang pokok melainkan dalam bidang-bidang kecil seperti masalah fiqih dan peribadatan. Percekcokan tersebut dicoba diakhiri dengan, keputusan menutup pintu istihad, dan mewajibkan setiap orang taqlid kepada para pemimpin atau pemikir keagamaan yang telah ada. Tetapi dengan akibat justru secara drastis melemahkan kreatifitas individual dan sosial kaum muslim.
3 comments:
terimakasih p Widjojono posting nya mencerahkan .
wass
priyono soekidin
Re: [Senyum-ITB] Menghargai Pendapat Orang Lain
Dear mas Wid.
Bagus postingnya, minta ijin beberapa pendapat nanti akan saya quote boleh ya?
Wah mas Wid ini orangnya kalem, sopan dan serius... Dulu aktif di Permias, beliau di UCLA kami di Iowa kami suka bertelpon ria..
Tanpa mas Wid saya tidak bakalan kerja di UI. Kami ketemu tahun1987 saya baru selesai master di AS, dan suami doktor dari AS. Karena saya masih punya 2 balita dan biasa 4.5 th di AS tanpa pembantu, saya masih rada takut kerja... Jadi di rumah saja..
Dulu mas Wid main ke rumah saya (rumah mertu) dan dialah yang memaksa saya menyerahkan CV dan yang membawakan cv saya ke pak Djatun..
Katanya: "Dik Nining, malu-maluin ada Insinyur ITB dan Master dari AS kok tidak kerja, mana CV nya... Nanti saya kasihkan ke Pak Djatun... Di LPEM..."
Jadilah saya kerja di LPEM FEUI dan kemudian jadi pengajar di FEUI..
Ternyata interaksi dg pak Djatun ini strategi mas Wid menggaet calon istrinya, Ninasapti yang dulu juga kerja di LPEM FEUI, hei hihi.. Dunia kecil
Wassalam
Nining I Soesilo AR76
Berempati, berbagi, bersinergi, berkarya
berempati, berbagi, bersinergi, berkarya
Nining Sri Astuti I Soesilo
http://niningsriastuti.wordpress.com/
www.keadilanuntuksemua.org
www.ukm-center.org
www.penghargaantki.org
http://www.facebook.com/people/Nining-Satmoko-Soesilo/1195146028
Mbak Nining: Saya dapat Tissa di PAU
Mbak Nining,
Saya ketemu Tissa di PAU Ekonomi UI bukan di LPEM UI dan tidak dibantu Pak Djatun... Lha, wong Tissa sering jemput saya (dia kan Asisten Penelitian saya) di tempat indekos saya di Matraman kalau mau ke PAU di Salemba. Walaupun demikian, memang Mas Djatun (waktu itu Dekan FEUI) nanya (sesudah Tissa pulang dari Illinois) gimana kalau Tissa jadi Sekretaris Jurusan Studi Pembangunan FEUI (Ketuanya Dik Faisal Basri).
Mas Djatun sayang ke saya karena dia pengagum ITB (Waktu Menko Sekmennya juga Mas Jinny Charles, FT 69). Dia bilang dulu daftar ITB tetapi tidak diterima.
Salam,
widjajono
PS:
Saya ujian disertasi di U. of Southern California akhir November 1986, tetapi ada perbaikan. Prof. Nugent dari Department of Economics minta saya menambahkan lampiran. Sayangnya, malam itu dia harus ke India selama tiga bulan sehingga akibatnya dia baru tanda tangan disertasi saya akhir Pebruari. Saya ke Eropa pertengahan Maret karena visa ke Eropa waktu itu harus diurus ke masing2 Negara...
Menjelang akhir 1987, saya diminta jadi Konsultan Pertamina untuk penawaran Wilayah Kerja Migas buat kontrak2 JOB (Joint Operation Body), untuk sepuluh hari dalam sebulan, di Kramat Raya. Walaupun saya sering ditraktir oleh Mas July Usman, Bos saya, di kantin Pertamina tetapi kadang2 saya ke UI, Salemba. Selain cari buku, saya sering diajak Dr. Rony Muntoro (Teman di USC, waktu itu Wakil Direktur MM FEUI) makan di kantornya.
Suau saat saya cari Rony tidak ketemu, maka saya ke kantor PAU-Ekonomi-UI di Perpustakaan FEUI. Saya tahu kantor itu waktu main ke rumah Mari (Dr. Mari Pangestu, teman di California yang sekolah di U. of California Davis) karena Mari jadi Sekretaris PAU. Saya dkenalkan Mari sama Iwan (Dr.Iwan Jaya Azis), Direktur PAU. Saya ditawari Iwan untuk menangani penelitian Resource Accounting untuk Sumber Daya Alam (SDA) Tak Terbarukan (Migas). Yang dari SDA Terbarukan (Hutan) sudah ditangani peneliti dari World Resource Institute, USA. Saya diberi Asisten Tissa (Ninasapti Triaswati, Dosen FEUI) yang waktu itu jadi Asisten Iwan. Karena Tissa sibuk sama saya, maka kemudian Iwan ngangkat Asisten Baru yang kemudian jadi Istrinya... Oh ya, kemudian saya jadi Koordinator Penelitian Model Pembangunan yang Berkelanjutan di PAU.
Waktu itu saya di LPEM FEUI cukup dikenal sebagai temennya Pak Djatun (Dr. Dorodjatun Kuncoro Jakti, Diretur LPEM) yang suka pakai "sepatu boot" (yang saya beli di Lyon, Perancis karena lagi Sale). Adik Mas Djatun, Mas Hero, adalah sahabat saya di California). Tissa juga bekerja di LPEM FEUI.
Ceritanya saya adalah penganut "Silence is Golden" (Oh ya, tadi malam ada istilah AFTA atau "Action First Talk Latter") sehingga tidak ada yang tahu kalau "ada apa2" antara Tissa dan saya. Maret Tissa diterima ngambil Sertifikat (Kuliah Summer) Energy Economics di AIT, Bangkok bulan Mei sampai Awal Agustus. Kemudian Dik Mahi (teman Tissa, sekarang Dr. Raksaka Mahi) memberi tahu Tissa kalau Mas Wid juga mau ke AIT, padahal seminggu kemudian dia menerima undangan pernikahan kami. Iwan juga waktu menerima undangan juga tanya: "Somebody I Know?. Sesudah tahu; "Hah ! ", kaget...
Pernikahan kami kemudian diikuti oleh para "Jomblo" di PAU Ekonomi UI yaitu Mari, Iwan dan Isna (putri Dr. Soedjatmoko yang pernah Rektor Universitas PBB di Tokyo, Alumni MIT yang juga peneliti di Kelompok Kami).
Salam,
Widjajono
Posting Komentar