Nostalgia Anak Asrama Putri ITB Tempo Dulu
Jumat, 21 September 2012
SERBA SERBI Nostalgia Anak Asrama Putri ITB Tempo Dulu Oleh : S.a. Ariesita | 26-Jan-2009, 07:54:02 WIB |
KabarIndonesia - Aku seorang nenek dari 8 cucu. Tinggal di Bandung dengan usiaku sekarang telah menginjak 75 tahun. Lulus dari SMA Xaverius Palembang 1954, ayahku seorang pendidik sekaligus pegawai di departemen pendidikan era Bung Karno menganjurkan aku mengambil fakultas kedokteran. Mendengar Kota Bandung, terbayang sebuah perantauan yang berat. Terlahir di Palembang, dari membuat warna hidup dan pengalaman lebih beragam. Aku besar di kota yang memiliki kemolekan sungai Musi, kota dengan kelezatan empek-empek dan aneka santapan serbaikannya. Ketika akan melanjutkan ke perguruan tinggi kupilih Jurusan Farmasi ITB. Sebuah jurusan di mana aku masih bisa mengabdikan dalam dunia kesehatan dan pengobatan. Lagipula, sahabatku sesama SMA (Halimah) juga ikut kuliah di jurusan yang sama. Jadi aku tak terlalu kesepian ketika sobatku yang juga sama-sama sering jadi terbaik di kelas saat duduk di SMA Palembang ikut merantau ke Bandung mengambil Jurusan Farmasi pula. Ada 2 juga teman baikku satu SMA yakni Dr Pisi Lukito yang mengambil jurusan bedah, lalu Peter Co yang akhirnya menjadi pendidik. Dan jurusannya juga bareng denganku. Dulunya ITB bernama TH, atau Technische Hoegeschool. Dulu ITB menjadi bagian dari UI Jakarta, sebagai fakultas teknik dan MIPA-nya. Menginjakkan kaki di Kota Bandung, mulanya terasa gamang. Terasing di perantauan, adalah rasa yang pertama kuhadapi. Beruntung sahabatku semasa SMA, Halimah, juga memilih jurusan serta fakultas yang sama. Kami bisa bahu membahu di kota yang dingin dan sepi ini. Tahun 1954, Bandung ketika hawa segar bersih masih meliputi kota ini. Arakan kabut pegunungan setiap fajar dan pagi membuat aku terperangah, betapa indahnya kota ini. Betapa sejuk dan kadang aku menggigil di pagi hari. Kampus yang aku injak, juga begitu megah di mataku. Di hadapanku terbentang lapangan hijau luas, bangunan dengan arsitektur lama. Tempat Bung karno pernah menuntut ilmu. Aku terpesona menyaksikan tiang-tiang berbalut batu alam (tahun 2006 gaya artisik batu alam ini kembali menjadi tren). Pepohonan merindangi jalan aspal kampus TH (ITB). Matahari menerobos dari celah dedaunan dan bunga-bunga stepanot berwarna oranye. Selain itu bunga-bunga stepanot ungu dan biru melilit gerbang masuk dimana sebuah jam menyambut kehadiranku.Bangunan berbalut bebatuan alam (kini kembali trendy) yang arsitektur atapnya sangat Indonesia sekali. Itulah perkenalanku dengan kampus megah dimana aku akan menuntut ilmu. Bandung, sungguh bak surga dunia di hadapanku. Aku bisa melihat di utara sana gunung menjulang biru, dan di selatan kampus terdapat Taman Ganesha yang luar biasa menambat cintaku. Ada 2 kolam besar dengan gemericik air mancur, gerombolan teratai dan bunga eceng gondok di tengahnya, ada tetumbuhan dan perdu yang indah. Ada sekelompok bougenville dan suara burung di dalamnya. Ada tangga-tangga batu yang didesain alam Belanda. Belum lagi pohon-pohon flamboyan di atas kepalaku. Rasa terasingku mulai terobati dengan segenap keindahan kampus ini. Juga jalan-jalan kota yang lengang, bersih, asri. Bahkan jika pagi datang, aku mencium aneka aroma kembang, tanjung, sedap malam, kacapiring, damar, kenanga, kantil. Rumah-rumah tua dengan pekarangan sangat luas. Di mana-mana aku menjumpai taman-taman bersejarah, gaya arsitektur art deco, dan hamparan ruang hijau terbuka, kebun-kebun sayur dan jagung, kebun palawija serta petak-petak sawah. Aku juga terkagum-kagum pada selera seni yang tinggi dari penduduk Bandung. Cara mereka memelihara aneka tanaman hias dan bunga. Bunga kemboja tampaknya merupakan bunga favorit dimana-mana. Barangkali tren taman saat itulah yang menjadikan inspirasi lagu Menanti di Bawah Pohon Kamboja. Lagu pop tahun 1960-an. Aku kagum saat berpapasan dengan delman dan oplet,mobil-mobil tempo dulu, sesekali melintas di jalan. Yang lumayan banyak, adalah sepeda kumbang (onthel) hilir mudik di kota Bandung. Lapangan Gasibu kala itu masih berupa kolam besar yang juga dipenuhi semak belukar, jalan Surapati masih buntu, sawah masih membentang di Gegerkalong, Kebon Bibit, lembah Tamansari, jalan Progo dan Cimandiri, Sadang Serang, Cipaku, dan hampir setiap tempat memiliki petak sawah dan kebun. Lingkup kota masih amat terbatas. Cicadas dan Kiaracondong serta jalan Pajajaran, jalan Dago melewati Simpang, dan Setiabudi serta Gegerkalong sudah tergolong daerah pinggiran. Keindahan seperti ini, telah membuat rasa gamang berubah menjadi rasa nyaman. Bandung membuat pendatang jadi jatuh cinta. Apalagi jurusan farmasi di kampus ITB (dulu fakutas teknik dan ilmu pasti dan ilmu alam UI) membuat para mahasiswanya betah berlama-lama. Bentangan rumputnya luas dan asri. Tetumbuhannya mampu menciptakan suasana tenteram selama menuntut ilmu. Kos di Jalan Mangga Tempat kos pertamaku terletak di jalan Mangga. Jaraknya lebih dari 5 km dari kampus. Kala itu kendaraan umum tidak sebanyak sekarang. Malah hampir-hampir tak ada Maka aku dibekali sepeda kumbang. Juga sahabatku. Maka setiap hari aku harus menempuh jarak yang lumayan melelahkan menuju kampus ITB, lumayan jugalah.Untung saja udara Bandung masih segar dan sejuk, matahari tak sengit membakar seperti sekarang. Jalan menuju kampus lumayan mendaki. Akibatnya aku sering ngos-ngosan. Sebetulnya aku sempat merasa agak merana. Pasalnya, ketika tinggal bersama orang tua, aku biasa hidup enak. Secapek apapun aku belajar, hingga jauh malam menghafal, aku selalu dilayani dan makan enak. Ibuku jago masak. Sementara hidup di perantauan begini aku lumayan sering kelaparan, hahaha...namun begitulah seninya berjuang. Akhirnya agar lebih dekat ke kampus, aku dan sahabatku pindah kos ke Jalan Wira Angun-angun. Masa-masa kos seperti ini membuat aku lebih menghargai makna keprihatinan hidup. Lebih dewasa dan terlatih mandiri. Berbeda dengan saat tinggal bersama orang tua dimana segala sesuatunya terasa nyaman dan bisa makan enak sepuasnya. Pindah ke Asrama Putri Aku mendapat bea siswa tahun 1955. Bagi penerima beasiswa ada fasilitas asrama menanti. Tentu saja aku gembira. Walaupun harus berdesak-desakan dan tetap prihatin, aku merasa lebih efektif karena jarak dengan kampus sangat dekat. Hanya beberapa puluh meter. Jadi waktu dan tenagaku takkan habis di jalan. Asrama pertamaku berada di jalan Sawunggaling. Asrama memang dikhususkan bagi penerima beasiswa.Pada masa tersebut kawasan ITB dikitari rumah-rumah tua di jalan Ganesha dan Gelapnyawang yang kerap disebut sebagai ‘barak'. Meski bangunannya sangat bagus, sebutan barak muncul karena deretan rumah itu dijadikan asrama putra ITB. Tentunya hanya mahasiswa terseleksi yang dapat menghuninya. Ada barak A, B sampai D. Untuk asrama putri aku kebagian sebuah rumah besar di jalan Sawunggaling 7 (sekarang sudah berubah fungsi jadi hotel dan kafe). Sebuah bangunan peninggalan Belanda yang berdinding kokoh, dengan gaya artistik antiknya, berlangit-langit tinggi, memiliki tangga di pintu keluarnya. Dengan lansekap taman yang ukurannya lebih luas dari luas bangunan. Rumput membentang dan pepohonan peneduh serta perdu hias membingkainya. Mulailah aku menjalani kehidupan yang penuh dengan kedisiplinan sekaligus keakraban. Dari sinilah kisah-kisah nostalgi mengalir manis dan terukir di benak yang terdalam. Idris Sardi dan Biola Maut Asrama di jalan Sawunggaling (sekarang hotel dan kafe Sawunggaling) membuat hidup perantauanku lebih semarak warna. Terlebih di ruangan utamanya tersimpan sebuah piano. Terus terang, keluarga besarku memang penyinta nyanyi dan musik. Ayahku suka musik, terutama lagu-lagu Minang. Mendiang kakak ayahku (Hamzah) juga suka musik. Saudara sepupuku putra putri Uwak Hamzah, semuanya juga suka musik. Salah satunya adalah si bungsu Titiek Hamzah yang kelak tahun 1960-an dikenal sebagai pentolan Band Dara Puspita. Memainkan piano dan bernyanyi menjadi selingan di saat senggang, setelah melewati proses kuliah, belajar dan tentamen. Alat musik ini menjadi sarana hiburan sekaligus pembangun keakraban. Pada masa tersebut mana ada pesawat televisi, radio saja sulit. Aku dan teman-teman silih berganti memainkan denting lagu penghalau sepi. Ada yang menyanyi, lainnya bermain piano. Sayang pada tahun 1957 asrama Sawunggaling harus dikosongkan untuk dijadikan asrama putra. Aku bersama teman-teman sempat kecewa, kesal, dan mencoba protes. Pasalnya kami sudah merasa betah di dalam rumah besar itu. Kami harus pindah ke asrama Gelapnyawang di belakang masjid Salman ITB (sekarang tak lagi berfungsi sebagai asrama, dikelola usaha oleh Dharma wanita ITB jadi Balai Pengobatan). Mau tak mau akhirnya aku pindah ke bangunan tua di sudut timur jalan Gelapnyawang tersebut. Sebuah bangunan yang di pelataran sisi jalannya berbaris deretan pohon flamboyan. Bunga-bunganya merah merekah pada musim-musim tertentu, lantas rontok. Pemandangan sensasional tak terlupakan, jalanan diselimuti warna merah menyala dan kuning , serta wangi bunga-bunga tanjung. Aku mencoba berpikir positif, dan mengumpulkan hal-hal terindah yang bisa kuperoleh dari asrama baru ini. Paling tidak, di sampingnya ada Taman Ganesha peninggalan Belanda. Taman dengan 2 kolam air mancur tempat berseminya kelopak bougenville ungu, dan di gerbang atasnya terdapat gapura bertahta batu alam yang dirambati bunga stepanot jingga. Di seberang asrama yang menghadap ke arah selatan ini terdapat lahan yang dibeton menyerupai lapangan atau serambi raksasa. Lapangan milik perusahaan air minum itu menjadi tempat yang menyenangkan untuk berjalan-jalan. Dari atas serambi raksasa itu mata dapat menyaksikan proses penjernihan air. Jaraknya ke kampus juga jauh lebih dekat, tinggal menyeberang saja. Maka akhirnya kehidupan di asrama Gelapnyawang, mulai terasa hangat. Piano yang tadinya berada di jalan Sawunggaling, ikut diboyong ke asrama ini. Kegiatan belajar akhirnya kembali diselingi keriaan bermusik dan berkesenian. Waktu senggang semakin indah ketika datang seorang bujangan tampan, yang masih kerabat dekatnya Ati, mahasiswi biologi, teman seasramaku. Pemuda tersebut dengan sukarela memainkan biolanya, sementara putri-putri penghuni asrama menyanyi. Sentuhan lagunya sungguh membuat kami terhanyut. Seribu satu perasaan timbul tenggelam. Rayuan biolanya memang maut. Pemuda ini akhirnya menjadi populer belasan tahun kemudian. Namanya dikenal sebagai Idris Sardi. Ketika Idris Sardi menjadi terkenal, aku tak terkejut dan sudah menduganya. Karena sang maestro sejak lama memainkan musiknya dengan hati dan jiwanya. Nuansa musik dan seni menjadi warna tersendiri bagi 100 penghuni asrama. Suasana semakin indah ketika ayahku dipindah tugaskan dari kawasan Talang Semut Palembang ke Jakarta dan mendapat rumah di Jalan Sukabumi, Menteng, Jakarta Pusat. Jadi sering ayahku menyetir mobilnya dari Jakarta ke Bandung. Lalu aku dan teman-teman diajak jalan-jalan memutari Bandung, atau menjamu makan teman-temanku. Maklum anak perantauan, bawaannya lapar melulu. Saat itu kenalan dekat ayahku dari Palembang (Keluarga Hasan) yang sudah seperti keluarga sendiri memiliki rumah di jalan Ranggamalela 3 Bandung. Kerap kami berkumpul di rumah tersebut untuk reuni suasana Palembang dengan hidangan tekwan dan empek-empek yang kerap aku rindukan. Gaya Wisata Tempo Dulu Mahasiswi tempo dulu tengah tren mengenakan model baju ala Cinderela. Yakni yang berkerut di pinggang, roknya mekar dan bercorak kembang-kembang. Bahkan ada yang pakai kawat segala di dalamnya sehingga roknya mirip kurungan burung. Makanya jangan heran, ketika ada foto-foto acara wisata mahasiswi dan mahasiswa, tak ada satupun anggota asrama yang mengenakan celana jins, celana panjang atau T-shirt. Baju kaos termasuk barang langka dan mahal kala itu. Jangan heran, kalau acara hiking, jalan kaki mendaki bukit dan gunung tetap pakai rok ala Cinderella. Lokasi tujuan jalan-jalannya, Curug Dago. Berangkatnya pagi-pagi, bersama rekan-rekan dari asrama putra. Sejak sehari sebelumnya para mahasiswi sudah membuat aneka jenis makanan yang akan di bawa buat santap siang di tempat berdarma wisata. Apakah itu nasi dan lauk pauknya, makanan kecil serta air minum. Jangan berharap ada air minum kemasan seperti sekarang ini. Perjalanan kami tempuh dengan menyusuri jalan Dago sejak ke utara. Jalan kaki sambil bersenda gurau merupakan kebahagiaan tersendiri. Jalan Dago sama sekali tidak ramai seperti sekarang, melulu dirundung sunyi. Sesekali terdengar burung-burung hutan, kebun-kebun di kiri kanan jalan, serta pepohonan yang masih rindang. Kawasan Dago Tea House yang aku lewati betul-betul cenderung'hutan'. Tak ada bangunan apalagi perumahan seperti sekarang. Jadi darmawisata itu betul-betul serasa pergi nun jauh ke pinggiran kota. Kabut dan hawa dingin masih kerap menggulung lembah sungai Cikapundung tujuan kami Dengan langkah perlahan kami puaskan untuk mereguk segarnya udara pegunungan. Hanya ada beberapa bangunan vila peninggalan Belanda. Juga sebuah wisma. Pipa raksasa perusahaan air minum tampak bersih dan terpelihara. Aku dan teman-teman menyantap bekal dengan lahap. Air minum yang kami bawa juga nyaris habis. Saat melepas letih kami duduk di tepi kali, menikmati gemericik air yang berkejaran di celah-celah batu sungai. Air terjunnya masih jernih, bersih sekali, tak terlihat warna keruh apalagi lumpur akibat erosi. Hutan Bandung utara masih sangat perawan, asri dan mengagumkan.Hamparan rumputnya bersih tanpa sampah, tak ditemukan kotoran manusia seperti sekarang ini. Wisata yang murah meriah, tapi menyimpan sejuta kesan yang dalam. Wisuda Sederhana Kuliah di jurusan Farmasi, aku berkenalan dengan kakak kelas beda jurusan namun fakultasnya sama. Terus terang, aku jatuh cinta dan karenanya aku jadi sedikit lalai kuliah. Aku malah memilih menikah sebelum kuliahku beres. Aku akhirnya keluar dari asrama, dan kuliahku semakin tersendat. Terkadang aku ikut ujian, terkadang tidak bisa. Maklum, semenjak menikah setiap tahunnya aku dianugerahi Tuhan seorang anak.. Namun dengan jerih payah yang luar biasa, aku akhirnya lulus sebagai apoteker. Wisuda yang aku jalani, lazimnya Sarjana ITB pada masa itu, seperti juga pada suamiku yang sudah lama lulus, jauh berbeda dengan cara sekarang. Acara wisuda ITB tempo dulu sangatlah sederhana, dilakukan tanpa toga. Hanya para guru besar yang mengenakan toganya. Bangunan Gedung Alumni di pertigaan jalan Surapati-Dipatiukur dan Ir H Juanda (sekarang pusat pengabdian masyarakat) menjadi saksi upacara wisuda. Anakku sudah 4 orang kala itu, yang 3 aku ajak. Ternyata 3 putriku itu lari ke sana kemari, sempat bikin heboh di gedung saat wisuda. Begitulah mereka. Untungnya mereka amat penurut jika sudah ditegur. Maklum, mereka terbiasa aku ajak saat praktikum, anak-anak sering berlarian di halaman laboratorium. Dulu ada jalan tembus dari Jalan Dago ke ITB. Karena tempat kediamanku setelah punya anak adalah paviliun kontrakan di Jalan Dago, yakni rumah Ibu Kadir. Di seberang jalan, ada rumah Yuk Emi atau Ibu Abu Kasan (ibu dari model tahun 1980-an, Ria Fariani) yang tak lain adalah kakak ipar artis Tetty Kadi. Aku sering main ke rumahnya, dan dari belakang rumahnya ada selokan yang suka saya seberangi sambil membawa anak, sampai deh akhirnya di halaman kampus ITB. Sesekali aku titipkan anak-anak bermain di sana sementara aku praktikum. Meski sudah lama sekali, hampir setengah abad berlalu, nostalgia hidup di asrama putri ITB tetap tersimpan rapi di benakku. Nama-nama sahabat dan teman lamaku seasrama masih abadi dalam kenangan. Mereka antara lain adalah Saraswati Soeharjo (pensiunan DKK Bandung dan pernah menjadi ketua GOW Bandung), Elsye (dosen ITB), Halimah, Murdiah Rohaji, Mimos, Ati, Tinneke, Dewi Rahman, Cung, Ny Sul Saeful Sulun, dan masih banyak lagi. Kini masing-masing sudah disibukkan dengan jalur hidupnya dan kebanyakan sudah beranak cucu. Ya, pengalaman hidup yang benar-benar melankolik sekaligus mengharubirukan kenangan kita, ini seperti diceritakan oleh Noerhajati kepada saya. (*) Sumber: kabarindonesia.com |
0 comments:
Posting Komentar