Kisah Peternak Sapi Perah Sukses Indonesia di Selandia Baru
Jumat, 21 November 2014
Reza Abdul Jabar memang bukan petani biasa.
Pria asal Kalimantan Barat itu kini sukses menjadi peternak sapi perah di New Zealand.
Kerja kerasnya sejak SMA pun membuahkan hasil yang luar biasa.
--------------------------------------
CHAIRUNNISYA, Pontianak
--------------------------------------
"Sampai hari ini saya tetap petani. Cuma, saya punya usaha peternakan," ujar Reza Abdul Jabar ketika ditemui Pontianak Post (Jawa Pos Group) di Hotel Kapuas Palace, Pontianak, Selasa (11/6).
Hari itu Reza sedang pulang kampung di Indonesia. Selama ini dia tinggal di New Zealand bersama istri, Silvie, dan anak-anaknya. Di sana pria berjenggot lebat tersebut dikenal sebagai pengusaha ternak yang sukses. Dia memiliki peternakan sapi perah cukup besar di Invercargill. Setiap tahun satu sapi miliknya mampu menghasilkan 6 ribu liter susu. Padahal, Reza mempunyai 20 ribu sapi! Artinya, setahun dia mampu memproduksi 120 juta liter susu sapi. Angka yang luar biasa besar.
Peternakan sapi di Invercargill, Selandia Baru |
Reza lalu menceritakan kisah hidupnya yang berubah bak mimpi. Dia lahir di Pontianak, 37 tahun silam. Masa kecilnya dihabiskan di Gang Bersatu, Jalan HOS Cokroaminoto. Dia melewati pendidikan dasarnya di SDN 29 Jalan Putri Chandramidi, kemudian SMPN 3 Pontianak. Saat SMA dia pindah ke ibu kota dan sekolah di SMAN 3 Jakarta.
"Saat SMA itu saya sudah mempunyai bayangan ingin menjadi petani atau peternak. Makanya, saya sering bertukar pikiran dengan almarhum ayah tentang cita-cita saya itu," kenangnya.
Saat kelas 2 SMA, pada Desember 1992, Reza memutuskan untuk hijrah ke New Zealand. Itu dilakukan karena dia ingin bisa kuliah di negeri yang berdekatan dengan kutub selatan tersebut. "Di New Zealand peternakannya terbaik di dunia. Karena itu, saya harus belajar di sana," ungkap Reza.
Setelah lulus SMA, Reza melanjutkan pendidikan ke fakultas pertanian dan peternakan di Massey University. "Hingga selesai S-2 saya di sana," katanya.
Reza Abdul Jabar |
Reza lalu bekerja di peternakan sapi potong, rusa, kambing, dan domba. Selama empat tahun dia bekerja hingga menjadi manajer. Kemudian, dia pindah ke peternakan sapi perah terbesar di New Zealand. Saat itulah dia mengumpulkan modal. Sementara itu, sang istri bekerja di bank.
Begitu modal terkumpul, dia membeli 20 sapi pada 2002. Seekor sapi pada saat itu seharga USD 1.000 (sekitar Rp 9,6 juta). Sapi-sapinya kemudian dipelihara di lahan milik orang. Hasil penjualan susunya dibagi sama 50:50 dengan pemilik lahan.
Tiga tahun kemudian dia pindah lagi ke tempat lain. "Di tempat yang baru tersebut saya diberi kemudahan untuk membeli tanah untuk peternakan," ucapnya.
Sejak itu Reza memutuskan untuk membuka usaha peternakan sendiri. Usahanya berkembang pesat. Sapinya yang semula hanya 20 ekor kini sudah menjadi 20 ribu ekor. Lahan peternakannya pun semakin luas. Sekarang sudah sekitar 800 hektare. Untuk mengurus semua itu, dia hanya mempekerjakan enam orang.
"Karena sebagian besar sudah dikerjakan secara mekanis, pakai mesin atau robot," tuturnya.
Reza mengaku mulai bekerja pukul 03.30 dan baru selesai pukul 20.00. Kerja keras itulah yang menjadi kunci suksesnya. Sampai-sampai Gubernur Kalimantan Barat (Kalbar) Cornelis tertarik untuk berguru kepada Reza. Maka, sang gubernur bersama rombongan terbang ke New Zealand untuk melihat peternakan Reza. Gubernur pun bertekad menjadikan sektor peternakan sebagai salah satu unggulan daerah Kalbar melalui teknologi mutakhir.
"Saya sempat rapat dengan gubernur dan menteri pertanian tentang bagaimana kemungkinan mengirim tenaga sarjana pertanian ke New Zealand. Biar banyak ahli yang bisa mengembangkan model peternakan ala New Zealand," katanya.
Bukan hanya ketekunan yang membuat Reza menjadi "peternak karir" yang membuat dirinya bisa memiliki aset lebih dari NZD 20 juta. Tetapi, regulasi dan perhatian pemerintah setempat juga menjadi faktor yang tak dapat dikesampingkan. Regulasi di New Zealand, misalnya, memberikan keleluasaan kepada petani untuk memiliki lahan seperti yang dilakukan Reza. Pemerintah juga tidak membedakan antara Reza dan peternak asli New Zealand yang rata-rata Scottish.
Selain itu, perbankan khusus petani dan peternak memiliki skema kredit untuk bisnis tersebut. Perbankan dapat menerima collateral seperti lahan peternakan atau sapi hingga batas waktu 15 tahun dan bunga di bawah 6,5 persen. Pemerintah pun dimungkinkan membangun infrastruktur seperti jalan hingga lahan peternakan. Listrik masuk hingga pelosok di mana pun peternakan berada.
Peternak seperti Reza kemudian bersatu membentuk koperasi pengolahan susu bernama Fonterra di Edendale yang menaungi 6.789 peternakan, yang mengolah 15 juta liter susu per hari. Pabrik raksasa itu mengklaim diri sebagai "pabrik susu terbesar dan terhigienis" di dunia. Untuk mendukung kegiatannya, Fonterra memiliki 487 truk tangki berkapasitas 28.000 liter, 4 laboratorium, dan 86 pabrik pengolahan. Omzet Fonterra tahun 2012 mencapai USD 7 miliar. Pasaran pabrik susu menjangkau seluruh dunia, terutama Asia Pasifik.
Secara konservatif, Fonterra tidak listing di bursa efek karena tidak menghendaki para spekulan yang akan menghancurkan kegiatan persusuan di New Zealand, terutama ketika harga susu sedang merosot. "Kami harus berhati-hati dalam menjalankan usaha ini," ujar Reza.
Menurut Cornelis, Indonesia patut mencontoh peternakan di New Zealand. "Kita memiliki luas wilayah yang sama dengan New Zealand Selatan. Karena itu, Pemprov Kalbar bertekad mendorong iklim investasi yang dibutuhkan. Beberapa kendala seperti regulasi pemerintah pusat akan kita koordinasikan. Saya akan menghadap presiden untuk mengurusnya!" tegas gubernur. (*/c10/ari)
------------------
Peta: (A) Wellington - (B) Invercargill
Slideshow of Invercargill, New Zealand
0 comments:
Posting Komentar