powered by Google

Lazuli Sarae: Ketika Warisan Budaya Tertoreh di atas Denim

Selasa, 11 September 2012





Sekumpulan alumni ITB ini merintis bisnis yang menorehkan batik di atas bahan denim (jins). Mereka berhasil mewujudkan bisnis dari hasil Tugas Akhir, dan menjadikan sesuatu yang menguntungkan.

Ide itu mahal. Apalagi jika sudah berbentuk sebuah produk yang unik. Mungkin hal sangat tepat untuk sebuah usaha yang dilakoni Ivan Kurniawan dan Maretta Astri Nirmanda. Betapa tidak, kreativitas mereka tertuang pada produk jadi berupa batik on denim yang rupanya memiliki nilai seni yang tinggi dan yang pasti dengan nilai jual yang setimpal pula. Terlebih jiwa muda yang menaungi diri mereka menjadi nilai tambah dalam mengeksplorasi ide-ide yang ada di dalam benaknya.
Seperti dikisahkan Ivan, yang kini fokus pada Business and Marketing Development Lazuli Sarae. keinginannya memulai sebuah usaha sudah terbesit sejak bangku kuliah. Namun lantaran keterbatasan modal dan belum berani untuk memulainya, niat tersebut pun diurungkannya. “Kebetulan saya dan Retta satu angkatan. Sedari kuliah kami sudah memiliki rencana untuk memulai usaha. Tapi, sampai akhirnya kami lulus dan masing-masing bekerja, belum jugakesampaian untuk mendirikan bisnis sendiri,” terang Ivan.
Hingga kemudian keinginan memulai bisnis timbul lagi setelah melihat pengumuman Kompetisi menyusun Business Plan, sebagai bagian dari Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) yang diselenggarakan Kementerian Perdagangan, pada 2010. Nah, dari situ, Ivan menghubungi Retta. “Waktu itu, kami memilih untuk mewujudkan bisnis dari Tugas Akhir salah seorang kawan kami, Gilang. Waktu itu, judul TA-nya menarik, yakni Eksplorasi Reka Batik pada Bahan Denim. Kami pun sepakat mengekplorasi ide tersebut,” urai Ivan.
Tak salah memilih, ide bisnis itu terpilih menjadi Ide Terbaik dengan menyabet gelar juara Kedua, sekaligus memenangkan The Best Presentation Award pada kompetisi tersebut. Sebagai bentuk penghargaan, Ivan dan Retta mendapatkan hadiah senilai Rp10 juta, yang kemudian digunakan sebagai modal awal dalam mengembangkan ide bisnis. “Awalnya, kami mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan konsep batik di atas bahan demin. Tapi, itu bukan penghalang untuk mewujudkan mimpi,” tegas pria pemegang Sarjana Teknik Informatika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Berbekal modal dari hasil kompetisi itu, Ivan dan Reta mulai menyusun strategi, membuat alur produksi, serta melakukan riset terhadap produk yang ingin diciptakannya. Di tengah perjalanan, Ivan mengaku semangat bisnisnya sempat memudar. “Semangat kami sempat pudar karena kami masih sibuk dengan pekerjaan masing-masing,” aku dia. Hingga kemudian, pada Januari 2011, keduanya sepakat untuk mengundurkan diri dari tempat pekerjaan masing-masing dan fokus mengembangkan bisnis batik on denim dengan brand Lazuli Sarae.
Untuk mendapatkan nama brand Lazuli Sarae, Ivan seakan ingin menunjukkan adanya perpaduan dua budaya. Kata ‘Lazuli’ berasal dari bahasa Persia yang berarti biru. “Warna biru menggambarkan warna bahan denim,” jelas Ivan. Adapun kata ‘Sarae’ berasal dari bahasa Sunda yang artinya mengagumkan. “Kami ingin memadukan denim dan batik, yang secara kultural berasal dari dua budaya berbeda, modern dan tradisional,” imbuh dia.
Bagi Ivan, industri fashion di Indonesia terbilang sangatlah maju dan memiliki peran besar dalam pembangunan perekonomian. Karenanya, Ivan pun optimistis dengan keunggulan dan keunikan produk yang ditawarkannya, Lazuli Sarae dapat diterima pasar. “Kami amat terkesan ketika melihat masyarakat mengapresiasi produk yang kami buat. Luar biasa! Umpan balik dari para apresiator dan kunjungan masyarakat saat pameran, memberikan pelajaran sekaligus motivasi bagi kami untuk terus menciptakan produk bernilai tinggi,” ujar Ivan bersemangat.
Singkat cerita, Lazuli Sarae pun mulai eksis dengan mengikuti beragam pameran-pameran, seperti INACRAFT 2011 (Jakarta International Handicraft Trade Fair), PPKI 2011, dan semacamnya demi mengenalkan produk batik on denimjuga brand usahanya. Kini, produk Lazuli Sarae selain dijual di gerainya di Bandung, juga melalui media online. Selain itu, mereka juga meka juga berkonsinyasi dengan sejumlah gerai pusat di Jakarta, seperti SMESCO Gallery, Pendopo Rumah Batik dan Kerajinan Alam Sutera, Sarinah Thamrin, serta Pejaten Village.
Akulturapolis
Dijelaskan Ivan, produk yang ditawarkan Lazuli Sarae memang mengedepankan konsep perpaduan nilai tradisional (batik) dan modern (denim). Produk yang dibuatnya pun murni hasil pembatikan secara tradisional, dan memiliki motif yang unik. Tak ayal, harga yang ditawarkannya pun disesuaikan dengan hasil kerja keras mereka dalam menuangkan ide kreatifnya, yakni berkisar Rp350.000 hingga jutaan rupiah, tergantung jenis dan tingkat kesulitan dalam pembuatannya.
“Orang beranggapan batik kami ditempel di atas bahan denim. Padahal, kami membatik di atas bahan denim. Itu sebabnya, dari segi proses membutuhkan waktu lama, kadang sampai satu bulan,” kata Ivan. Ia menuturkan proses pembuatan batik on denim memiliki tingkat kesulitan yang tinggi karena banyak detail.
Ketika disinggung omzet yang diperoleh selama ini, Ivan mengatakan sangat fluktuatif. Namun, ia menyebutkan rata-rata yang didapatkan Lazuli Sarae mencapai Rp14 juta setiap bulan. “Pernah kami mendapatkan satu pesanan yang nilainya puluhan juta. Tapi, itu tidak terjadi setiap waktu,” katanya. Ivan menuturkan Lazuli Sarae membidik segmen menengah atas.
Pada koleksi terbarunya, Lazuli Sarae mengedepankan busana dengan tema kehidupan urban, baik untuk lini busana formal dan non formal. Secara spesifik. Ivan ingin mengusung tema Akulturapolis yang berarti kota yang penuh percampuran budaya, Ivan menginginkan produknya bisa seperti kota tersebut. “Tema Akulturapolis seperti konsep batik on deman Lazuli Sarae, yakni memadukan nilai tradisional dan modern sehingga menghasilkan sesuatu yang indah tanpa menghilangkan kedua nilai tersebut,” jelas pria yang pernah bekerja menjadi Apprentice at Business Partner Organization di IBM Indonesia ini.
Ivan mengungkapkan inovasi adalah sebuah kunci dalam mengembangkan sebuah usaha. Karenanya, ia akan terus melakukan pengembangan produk yang ditawarkannya. Ivan mengaku membutuh waktu lama dalam menuangkan ide-idenya,. Dalam satu sesi desain, misalnya, tim Lazuli Sarae membutuhkan waktu minimal enam bulan untuk menciptakan desain-desain barunya. “Kami akan terus melakukan penelitian dan pengembangan dari sisi produk dan pasar untuk menghasilkan inovasi dan diferensiasi. Ke depannya kami berharap Lazuli Sarae dapat menjadi bagian dalam memperkuat ekonomi kreatif di Indonesia,” pungkasnya.
Untuk itu, Ivan memiliki vendor dan pengrajin terpercaya untuk membuat setiap produknya. Menurutnya, dalam menghasilkan produk yang berkualitas dan sesuai dengan pasar yang dituju, keahlian dan kelihaian mereka sangat dibutuhkan. “Saya melakukan pendekatan dengan bekerja sama dengan vendor yang mau belajar dan berkembang bersama. Sebab, vendor yang sudah mapan biasanya mematok harga tinggi dan kuantitas minimal pesanan yang belum cocok untuk kami. Justru ketika Lazuli Sarae bekerja sama dengan vendor yang juga sedang berkembang, akan tercipta banyak pembelajaran bagi kedua belah pihak untuk mencapai hasil yang diinginkan bersama,” urai dia. $$$ IMAM ARIF MAULANA

Lazuli Sarae
Jl. Plesiran No. 10
Bandung, Jawa Barat
Telp : 0812 203 0607
E-mail : ivan@lazulisarae.com
www.lazulisarae.com
(Will be published on Majalah DUIT! ed 04/April 2012)


Sumber: nanangisme.wordpress.com

0 comments:

Posting Komentar

Pencarian

10 Halaman Favorit

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP