Nilam nan Harum Mewangi
Senin, 05 Maret 2012
Nilam nan Harum Mewangi
Berapa pun jumlah minyak atsiri nilam pasti diserap pasar. Dipicu oleh misi sosial. Harus terintegrasi, mulai dari pembibitan, penanaman, pascapanen, dan penyulingan.
AROMA harum langsung tercium ketika memasuki lahan pembibitan nilam di Dusun Sambiroto, Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Lahan menghijau di areal persawahan milik Lesto Kusumo itu telah dikembangkan sejak 2004. Ayah satu anak ini mulai terjun pada budidaya nilam tahun 2000 di Bandung. Kini, ia mengembangkan usahanya di Kalasan, Prambanan, dan Magelang.
Ketertarikan Lesto mengembangkan tanaman nilam dipicu oleh misi sosial. Di Jawa, rata-rata petani hanya memiliki lahan seluas 1.000-2.000 meter persegi. Dari perhitungannya, para petani akan lebih diuntungkan membudidayakan tanaman nilam dibanding tanaman lain. “Dari seribu meter persegi, misalnya, dapat ditanami dua ribu bibit. Dengan harga jual Rp 1.000 per kg, setiap empat bulan (masa panen) mendapatkan Rp 2 juta. Dipotong biaya operasional sekitar Rp 350 ribu, maka per siklus petani memperoleh keuntungan Rp 1.650.000,” ujar Lesto.
Itu perolehan pada panen pertama. Kala panen ke empat kalinya, jumlah nilam yang diperoleh meningkat dua kali lipat, dan panen ke delapan meningkat lagi tiga kali lipat,” Lesto menambahkan. Dari kalkulasi tersebut betapa menggiurkan hasilnya.
Pertama kali tanam, Lesto mengambil bibit dari beberapa petani setempat. Ternyata hasilnya tidak memuaskan. Selain hasil panen nilam tidak maksimal, usia bibit juga tidak bertahan lama. Setelah dua kali panen produksi langsung menurun. Dari situ kemudian terpikir oleh Lesto membuat usaha secara terintegrasi, mulai dari pembibitan, penanaman, pascapanen, dan penyulingan.
Jadi dibagi tiga divisi. Divisi yang bertanggung jawab pada pembibitan dan penanaman. Divisi pascapanen bertanggung jawab pada waktu panen, pengeringan dan pemotongan. “Dan, divisi yang bertanggung jawab pada penyulingan, yang menghasilkan minyak atsiri berkualitas, yang bisa diterima oleh pangsa pasar,” ungkap alumni jurusan perminyakan Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta tersebut.
Minyak atsiri nilam produksi Lesto lebih mahal dibanding harga pasar. “Karena kualitas dari penyulingan dijaga kebersihannya, modernisasi perlengkapan dan sebagainya. Itu yang kita tekankan, sehingga bisa masuk kualitas ekspor,” tambah laki-laki kelahiran Bandung, 1972 tersebut. Harga minyak nilam produksinya mampu menembus Rp 50 ribu – 150 ribu di atas harga pasar. Saat ini, per kg minyak nilam dihargai Rp 400 ribu.
Dalam bisnis ini, Lesto bekerja sama dengan perusahaan dari Jepang, Prancis, Swis, dan Singapura untuk ekspor minyak nilamnya. Kapasitas produksinya per bulan mencapai 200 kg. Direncanakan, November 2008 dan Maret 2009 dilakukan peningkatan produksi hingga mencapai target per bulan 400 kg. “Dengan perluasan lahan dan penambahan kapasitas penyulingan,” imbuhnya.
Meski begitu Lesto merasa belum berhasil, sehingga ia pun mengalokasikan anggaran untuk R&D (reseach and development). “Sebagian yang kita dapat, kita putar lagi untuk R&D. Untuk mendapatkan tanaman dan minyak nilam yang berkualitas,” kata Lesto yang juga berprofesi sebagai konsultan di bidang perminyakan dan petrokimia itu.
Dalam usaha nilam, menurut dia, yang paling utama adalah bibit, karena akan menentukan kadar kualitas dan rendemen minyak. Untuk mencapai bibit unggul dia melakukan penelitian bibit selama satu tahun dan berhasil. Bahkan Aceh yang merupakan sumber nilam mengambil bibit darinya. Juga sebagian petani di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Kapasitas produksi bibit per bulan berkisar 100 - 200 ribu bibit. Pesanan terbesar dari luar Jawa. Untuk Sumatera rata-rata per bulan menyerap 50 ribu bibit, begitu pula Kalimantan. “Pernah terima permintaan bibit sampai sejuta buah,” kata Lesto yang berharap tahap research bisa selesai tahun ini, selanjutnya tinggal pengembangan.
Proses pembibitan dilakukan dengan mekanisme standar sesuai pengalaman. Bibit yang dilepas, sebelumnya diujikan di lahan kering dengan pengairan dan pupuk minimal. Dan, ternyata tingkat kematiannya kurang dari 10%. Biasanya yang terjadi tingkat kematian dari perpindahan bibit ke lahan 50%, dan kematian setelah ditanam 50% lagi.
Dalam budidaya nilam ini Lesto melibatkan petani 15 orang di Yogyakarta dengan masing-masing mengelola seribu hingga dua ribu meter persegi lahan. Sedangkan di Magelang sekitar 20 orang dengan total luas lahan sekitar 40 – 48 hektare. “Lahan pertanian dengan sistem kerja sama dengan petani,” katanya. Karena misi pertamanya untuk mengangkat petani setempat. “Jadi kami koordinir para petani dengan lahan mereka masing-masing,” papar lelaki yang juga sebagai koordinator penanggulangan bencana daerah Jateng-DIY Kelompok Balerante 907 tersebut.
Sementara jumlah karyawan dengan sistem penggajian sekitar 25 orang di bagian penyulingan dan laboratorium bibit. Demi misi sosial, area penyulingan dan laboratorium pembibitan (seluas setengah hektare) pun ia sewa dari warga. Selain bibit, Lesto juga meriset sistem produksi dan hasil olahan minyak atsiri nilam. “Hasil olahan ini berupa aroma therapy. Baru mulai membuka pasar, dan permintaan dari luar negeri sudah cukup banyak.” Harga produk tersebut berkisar Rp 90 ribu hingga Rp 160 ribu per kemasan 200 mililiter. Antara lain, berupa Pure Essentiao Oil, Pure Essential Oil Blending, Low Concentration, Body Oil, Body Lotion, dan Massage Oil.
Selain itu dari peralatan penyulingan yang ia rancang juga menghasilkan hidrosol, di luar minyak nilam. “Hidrosol sebagai bahan dasar kosmetik. Lebih murah dibanding menggunakan bahan dasar minyak nilam. Ini bisa menjadi pendapatan tambahan. Di luar negeri pun harganya cukup tinggi. Rp 40 ribu per liter di dalam negeri, sementara di luar negeri sekitar Rp 400 ribu – Rp 500 ribu. Kita mulai mengenalkan pada beberapa industri kosmetik dan mereka sudah mulai mengambil,” paparnya.
Omset dari kapasitas produksi atsiri nilam 200 kg per bulan ditambah produk lain bisa mencapai hampir Rp 200 juta. “Tapi kita alokasikan juga keuntungan untuk R&D bisa dikatakan 30-40%,” ungkapnya. Sementara total aset dari usahanya saat ini, Lesto mengaku Rp 1,8 milyar termasuk untuk research and development.
Asalkan menjaga kualitas, prospek usaha nilam ke depan masih akan bagus. “Minyak nilam ini seperti kacang goreng, laris. Berapa pun yang kita punya pasti habis,” pungkas Lesto yang mengembangkan dua jenis tanaman nilam tapak tuan dan sidi kalang tersebut.
–cahpesisiran, telah diedit utk majalah saudagar-
Sumber : pesisiran-kidul.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar