Candle Light : Quality of Life
Senin, 05 Maret 2012
Candle Light
Quality of Life
Oleh: Dermawan Wibisono TI84
Begitu riuh rendah dunia informasi saat ini, seakan kita terkungkung karenanya. Dalam keriuhrendahan itu, banyak orang menyempatkan diri untuk berbagi cerita, menggerakkan hati agar menjadi manusia yang lebih baik. Menjadi rahmatan lil ‘alamin. Rahmat bagi seru sekalian alam. Di antara cerita itu berikut saya kutip cerita yang sangat menarik, namun sayang saya tidak mendapatkan fakta, siapa yang telah berbaik hati mengutip cerita ini dan membagikan kepada anda.
“Dalam sebuah acara reuni di suatu masa, beberapa alumni University of Berkeley, California menjumpai seorang dosen di kampus mereka dulu. Melihat para alumni beramai-ramai membicarakan kesuksesan mereka, sang Profesor segera menuju ke dapur dan mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir kopi yang berbeda-beda, motif, bahan dan ornamennya. Mulai dari cangkir yang terbuat dari kristal, kaca melamin dan plastik biasa seperti kita jumpai di pasar kaget Gasibu Bandung. Profesor tersebut menyuruh para alumninya untuk mengambil cangkir dan mengisinya dengan kopi. Setelah masing-masing alumni mengisi cangkirnya dengan kopi, Profesor tsb berkata:”Perhatikan, bahwa kalian semua memilih cangkir-cangkir yang bagus dan kini, yang tersisa hanyalah cangkir-cangkir yang murah dan tidak menarik. Memilih hal terbaik adalah wajar dan manusiawi. Namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yang bagus itu, perasaan kalian mulai terganggu. Kalian secara otomatis melihat cangkir yang dipegang orang lain dan mulai membandingkan dengan cangkir kalian. Pikiran kalian fokus pada cangkir, padahal yang kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya. Hidup kita seperti kopi dalam analogi tersebut di atas, sedangkan cangkirnya adalah pekerjaan, jabatan dan harta benda yang kita miliki. Pesan moralnya adalah jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yang kita nikmati. Cangkir bukanlah hal yang utama, kualitas kopi itulah yang terpenting. Jangan berpikir bahwa kekayaan yang melimpah, karier yang bagus dan pekerjaan yang mapan merupakan jaminan kebahagiaan. Itu konsep yang keliru’ Kualitas hidup kita ditentukan oleh “apa yang ada di dalam’ bukan ‘apa yang kelihatan dari luar’. Apa gunanaya kita memiliki segalanya namun tidak pernah merasakan damai, suka cita, dan kebahagiaan dalam hidup kita? Itu sangat menyedihkan karena kita seperti menikmati kopi basi dalam cangkir kristal yang mewah dan mahal. Kunci menikmati kopi adalah bukan seberapa bagus cangkirnya, tetapi yang paling penting adalah kualitas kopinya?”. Para alumni itu tercenung, dalam hati mengatakan, itulah mengapa mereka perlu jauh-jauh datang reuni dan menemui Profesor mereka yang bersahaja namun kaya makna itu”.
Dan kehidupan kita, bergulir seperti biasa, dengan sesekali kita sempatkan melirik TV dan melihat tayangan ‘sinetron kehidupan’ yang tak kunjung usai. Silih berganti pemerannya, silih berganti akting yang dilakukan, dan kita makin bingung untuk menarik kesimpulan: siapa yang benar? Masing-masing memiliki kacamata yang berbeda. Namun sungguh aneh jika kebenaran dimaknai dari berbagai macam sudut pandang dan diperdebatkan, bahkan mulai dari kata ‘benar’ itu sendiri. Seolah kita telah melupakan berbagai ajaran yang telah digali dari perut bumi pertiwi sekian tahun yang lalu. Salah satu ajaran yang dulu kerap disitir, namun sekarang mulai larut ditelan masa adalah ajaran Tri Dharma dari Pangeran Sambernyawa atau Gusti Kanjeng Mangkunegaran I (1757-1795). Beliau manyatakan bahwa Tri Dharma terdiri dari rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki), wajib melu hangrungkebi (merasa ikut membela) dan mulat sarira hangrasaweni (atau mawas diri apakah ajaran 1 dan 2 tersebut telah ada dan bersemayam dalam diri kita). Rumangsa melu handarbeni pun kini sudah berbeda makna. Bukan lagi sense of belonging, therefore from this sense of belonging, influent you to make it much better, but to occupy and give return to you as much as you can. Profit oriented dan sangat transaksional. Melu Hangrungkebi, bukan lagi sikap defense untuk menjaga kebaikan dan keluhuran apa yang kita miliki, tetapi membela kepentingan kita. Semua profit di depan mata, yang kita bayangkan karena kedudukan ini, tak boleh lolos. Sangat oportunis. Dan tak perlu lagi kita bahas mulat sariro hangrasaweni, karena jika kedua hal itu sudah tidak lagi ada pada tempatnya, sudah pasti hal yang ketiga makin meleset lagi dari cita-cita semula.
Tampaknya jaman telah berubah, antara hak dan kewajiban tak lagi setara, satu lebih dahulu dari yang lainnya, namun ada baiknya kita renungkan sebuah kata bijak dari Bob Dylan: A hero is someone who knows the responsibility that comes with his freedom.
1 comments:
Re: [Senyum-ITB] Candle LIght
Saya pernah dapat the Wisdom of Hot Chocolate, kalau tidak dalah dari Inspiremail, Australia.
Sepertinya sama ceritanya.
Salam,
Saifuddien Sjaaf / TK-64
Posting Komentar