Kerinduan Bangsa Korea Bersatu Kembali
Minggu, 09 Februari 2014
“Hingga mengeringnya ombak Laut Timur;
(dan) Lenyapnya Paektusan;
Tuhan menjaga tanah kami, senantiasa!
Rumah Korea Kami!”
KUTIPAN syair di atas adalah sebait lagu kebangsaan (the national anthem) Republik Korea, Till Paektu Mountain Wears Away. Syair tersebut seakan mengetuk kerinduan bangsa Korea yang berdiam di bagian selatan semenanjung, akan keelokan dan keperkasaan Paektusan –gunung yang senantiasa dipuja segenap bangsa Korea seperti halnya gunung Fujiyama di Jepang.
Paektusan (Baekdu Mountain atau juga dikenal sebagai Changbai Mountain di China) merupakan gunung tertinggi di semenanjung Korea. Berada di ketinggian 2744 m (9003 kaki), gunung ini terletak di wilayah utara, di perbatasan Korea Utara dan Provinsi Cina, Manchuria. Kini masyarakat Korea Selatan tak bisa lagi menyaksikan indahnya mawar-mawar liar mekar di lereng-lereng Paektusan. Ini lantaran semenanjung nan menawan dan mempesona itu terbelah menjadi dua negara, Republik Korea di bagian selatan dan Republik Demokrasi Rakyat Korea di bagian utara menelusuri garis 38 derajat Lintang Utara, semenjak berakhirnya Perang Dunia II.
Bagi masyarakat Korea pada umumnya, perpecahan itu bagaimanapun sangat menyakitkan. Berlainan dengan harapan para tokoh gerakan kemerdekaan Korea yang marak sejak 1 Maret 1919. Walau memerdekakan diri pada 15 Agustus menyusul kekalahan bala tentara Jepang pada tahun 1945, tetap itu tidaklah mengantarkan bangsa Korea ke pintu gerbang kemerdekaan yang sesungguhnya. Negara-negara adidaya pemenang Perang Dunia II (Rusia, USA, Cina dan Inggis) sepakat, semenanjung Korea dijadikan daerah pengawasan mereka. Negara adidaya pemenang PD II itu lalu mengkavling semenanjung Korea menjadi dua bagian.
Satu bangsa Korea, pada tahun 1948, menyatakan merdeka dalam dua negara: Korea Utara dan Korea Selatan. Maka lengkaplah sudah, dua ideologi besar, kapitalisme dan sosialisme mencabik semenanjung itu.
Pada tahun 1950, tentara Korea Utara, dengan didahului tank-tank buatan Rusia melancarkan serangan dahsyat ke Korea Selatan, mencetuskan perang Korea yang berlangsung hingga tahun 1953. Konflik yang menimbulkan kehancuran total itu berakhir setelah perjanjian gencatan senjata, yang menetapkan sebuah daerah penyangga militer yang saat ini membelah semenanjung Korea.
***
Korea sejak lama dikenal sebagai negeri yang memiliki panorama keindahan alam yang mempesona, pun memiliki kekayaan warisan budaya masa lalu yang mengagumkan. Di Korea orang bisa menyaksikan tiga buah harta benda nasional Korea paling berharga dalam daftar warisan kebudayaan dunia.
Ketiga harta budaya Korea yang tak ternilai harganya itu adalah Kuil Pulguk bersama dengan candi goa Sokkuram yang terbuat dari batu pada abad ke-8 di Kyongju, Tripitaka Koreana abad ke-13 di kuil Haeinsa, Provinsi Kyongsang Selatan, dan Chongmyo, tempat persembayangan bagi keturunan leluhur raja pada masa kerajaan Chosun (1392-1910), yang terletak di ibukota Seoul Korea Selatan.
Akan tetapi, sumber yang lebih luas dan lebih mengesankan bagi bangsa Korea hanya dapat ditemukan pada pribadi masyarakatnya. Salah satu hal penting yang mendasari sikap hidup masyarakat Korea ialah ketaatannya pada tradisi. Yakni tradisi masyarakat Korea yang merupakan perpaduan antara Samanisme, Budha dan utamanya Kong Hu Chu.
Tradisi tersebut pada diri bangsa Korea tercermin pada kecintaan akan perdamaian, kehangatan keluarga, keselarasan lingkungan, keharmonisan sosial, dan penghargaan kepada leluhur, tanpa menapikan pula unsur-unsur baik budaya Barat.
Salah satu konsep yang sangat kuat pada seluruh lapisan masyarakat Korea ialah saling kerja. Di Korea terkenal dengan sebutan Saemaul Undong. Satu konsep yang telah menjadi gerakan nasional dengan menekankan rasa kesatuan dan keterpaduan sosial.
Orang Korea tidak memulai dirinya sebagai individu seperti dalam pengertian Barat, melainkan lebih merasa dirinya menjadi bagian dari sebuah kesatuan. Tetapi tradisi yang telah berurat-berakar di masyarakat Korea ini mengalami tantangan-tantangan. Sekarang, terutama di kota-kota besar Korea, individualisme juga mulai menampakkan wujudnya.
Hari-hari ini bangsa Korea masih mendambakan kerinduan persatuan masyarakatnya dalam wadah Korea Bersatu (KoreaUnity). Satu bangsa dalam dua buah negara terpisah berjalan sendiri-sendiri dalam lipatan waktu. Lebih dari setengah abad lamanya. Sebuah jalan yang sungguh berbeda dengan cita-cita para tokoh kemerdekaan Korea semasa kecamuk Perang Dunia II. Bisakah mereka dipersatukan kembali?
Hanya waktu jualah yang akan menentukan….
*****
*) Tulisan di atas merupakan revisi terbatas artikel opini yang pernah saya tulis dan dimuat di harian Media Indonesia bertitel “Korea” pada tanggal 27 Agustus 1996. Wow, 13 tahun silam dan memang jadul, namun isinya ternyata masih relevan.
Sumber: dwikisetiyawan.wordpress.com
0 comments:
Posting Komentar