powered by Google

Maclaine Pont : Perintis Arsitektur Indonesia

Jumat, 22 Februari 2013


Maclaine Pont : Perintis Arsitektur Indonesia


Anda mungkin tak kenal Henri Maclaine Pont. Tapi anda setidaknya tahu Institut Teknologi Bandung ( ITB ), perguruan teknik terkemuka di negeri ini, tempat Soekarno, proklamator RI, menimba ilmu. Kampus ITB, pertama kali dirancang Maclaine Pont, masa kolonial dulu.

Aula Barat ITB, karya Henri Maclaine Pont.
Aula Barat ITB, karya Henri Maclaine Pont.















Anda benar. Pont berkebangsaan Belanda, meski ia lahir di daerah Meester Cornelis ( kini Jatinegara ), Juni tahun 1885. Seperti kebanyakan keluarga Belanda masa itu, anak umur sepuluh tahun dikirim ke Belanda untuk belajar sampai lulus universitas. Maclaine Pont menyelesaikan tiga disertasi di bidang hukum, seperti ayahnya Pieter Maclaine Pont. Ayah beranak ini termasuk orang Belanda liberal yang tidak setuju penjajahan. Mereka tinggal di Indonesia sampai Belanda hengkang, tahun1942.
Atas saran ayahnya, pada tahun 1904, Henri masuk Technische Hoogeschool de Delft, sekolah paling terkemuka di Belanda. Semula ia mengambil jurusan pertambangan, namun karena tak tertarik, setelah tahun pertama Mclaine pindah ke jurusan arsitektur. Selesai studi tahun 1909, Pont bekerja di Belanda, setelah itu ke Indonesia.
Kompleks ITB, tahun 1925.
Kompleks ITB, tahun 1925.





















BERKARYA DI HINDIA BELANDA
Pertama kali, tahun 1911, Pont menginjakkan kaki di kota Tegal dan merancang Kantor NIS. Pertengahan tahun 1913, ia pindah ke Semarang, memantapkan kantornya dan mengerjakan proyek perkantoran di Tegal ; seperti bangunan perkeretaapian di Purwokerto, gudang gula di Cirebon dan Cilacap. Maclaine Pont juga membuat rencana pengembangan kota Semarang Selatan dan Surabaya. Saking banyaknya pekerjaan, Pont mengajak rekannya, Ir. Thomas Karsten, untuk bekerja sama.
Medio 1915, Maclaine Pont sakit. Ia bersama isterinya kembali ke Belanda. Setelah sembuh ia bekerja di kantor kereta api di Utrecht. Mengira takkan kembali ke Indonesia, tahun 1918 Pont berniat menjual kantornya di Semarang pada Karsten cs. Di luar dugaan Pont malah diundang ke Indonesia untuk merancang Sekolah Tinggi Teknik di Bandung. Desain mulai di kerjakan di Belanda. Selesai tahun 1919 dibawa ke Indonesia.
Selama dua tahun, Pont mengawasi pembangunan Sekolah Teknik itu bersama badan pembangunan pemerintah kota. Tahun 1920, bangunan selesai dan di resmikan oleh Gebernur Jendral Fock. Tahun 1921, perkuliahan dimulai dengan jurusan Teknik Sipil. Sekolah itu dinamai Techsnische Hoogeschool Bandung. Selama THB dibangun, hingga tahun1924, Pont tinggal di daerah Mampang, Jakarta. Kompleks ITB telah diperluas, namun karya Mclaine Pont tetap bisa anda nikmati di bagian depan kampus, di Jalan Ganesha 10. Persisnya, Aula Barat dan Timur ITB, yang paling impresif dari kampus kebanggaan orang Bandung ini.
Karya Pont yang lain ; Gereja Pohsarang di Kediri, Stasion Poncol di Semarang, perencanaan wilayah Darmo di Surabaya, Semarang-Cheribon Stoomtraam Maatschappij dan Koloniale Tentoonstelling Semarang.
Tahun 1924, Pont ke Surabaya, bekerja sebagai penasehat perkeretaapian. Ia juga sempat meneliti reruntuhan kerajaan Majapahit di Trowulan sampai tahun 1943. Tahun 1936, atas permintaan pastor G.H. Wolters, Pont merancang Gereja Pohsarang . Tahun 1945, Pont masuk kamp tahanan Jepang, setelah keluar ia diangkat menjadi profesor arsitektur di THB. Sayang kesehatannya memburuk, hingga Pont terpaksa berobat ke Australia, tahun 1946. Setelah itu ia langsung pulang ke Belanda. Kondisi Indonesia, waktu itu dalam pendudukan Jepang, tak memungkinkan untuknya kembali.
CIRI KARYA PONT
Pont biasanya mengkombinasikan unsur dekorasi dan konstruksi tradisional dengan arsitektur kolonial Belanda/ Eropa berbahan kayu dan bata. Alias arsitektur hybrid. Menurut istilah Bakhtin ( 1981:358 ), hibridisasi adalah perpaduan dua bahasa sosial dalam pengucapan tunggal. Penyatuan dua kesadaran linguistik, yang dipisahkan jaman, pembedaan sosial atau faktor lainnya. Dalam wacana kolonial, hibriditas mengacu masalah representasi, individuasi kolonial, yang membalikkan dampak penyangkalan kolonial sehingga pengetahuan lain yang selama ini disangkal, bisa meresap ke dalam wacana dominan ( Bhabha 1994 : 114 ).
Sejarah arsitektur dan urbanisme pada masa kolonial bisa dilihat sebagai narasi kebijakan dan taktik penguasa kolonial. Pada koloni-koloni Belanda, seperti juga koloni Perancis dan Inggris, terjadi pergeseran gaya arsitektur secara bertahap. Dari semula murni gaya penjajah, kemudian perlahan menyerap unsur arsitektur lokal. Dengan pelestarian hierarki dan status tradisional ini, para penjajah berharap bisa menancapkan kuku lebih dalam di negara jajahannya, terutama saat menerapkan aturan. Sebagian arsitek menganggap perlawanan terhadap bentuk-gaya baru ( karena keterikatan emosi ) adalah sebuah upaya menjaga kesinambungan dengan masa lalu.
Taman Ganesha, di depan kampus ITB.
Taman Ganesha, di depan kampus ITB.
Desain arsitektur hibrid lahir sebagai kompromi kolonialisme dengan keterikatan sejarah. Hibriditas menjadi penanda produktivitas kekuasaan kolonial sekaligus pergeseran kekuasaan dan kestabilannya. Kehadirannya mengevaluasi dan menantang dominasi identitas kolonial. Dengan menjadi hibrid, arsitektur kolonial tidak lagi merepresi dan materialis, melainkan lebih idealis dan kompleks. Produk hibrid kolonial melambangkan keambiguan dan kelemahan wacana kolonial, ketidakberdayaannya menghadapi serangkai pemberontakan. Secara tak langsung memberdayakan si terjajah

MAKHLUK LANGKA MELOGIKAKAN BANGUNAN JAWA
“Arsitektur adalah lingkungan yang diciptakan manusia untuk dirinya dari alam. Untuk menciptakan kondisi…yang memungkinkan sikapnya pada kehidupan. Untuk menghasilkan suasana yang diinginkan dan memenuhi kebutuhan status,” tutur Mclaine Pont. Hal itu ia tunjukkan dengan reproduksi inovatif dari kosakata vernakular arsitektur tradisional Indonesia yang begitu beragam. Bentuk atap tradisional, sistem konstruksi kayu yang rumit, dan tipologi bangunan lokal secara kreatif dirancang ulang dan diciptakan kembali. Menjadi lebih canggih, modern, efisien, tropis. Interpretasi puitis arsitektur Indies modern.
Melihat upayanya, bisa dibilang Pont adalah makhluk langka yang perlu dilestarikan. Mengapa ? Karena hingga abad milenium ini, belum ada arsitek yang seberani Pont dalam menjelajahi khasanah arsitektur asli Indonesia. Tidak sekedar meniru atap pendopo atau Bali dengan tipologi bale-nya.
Untuk sampai pada penemuan cirri khasnya, Pont lebih dahulu menelaah sistem bangunan tradisional Jawa. Dalam artikel “Javaansche Architectuur” tahun 1923, Pont menuliskan secara detail berbagai sistem konstruksi bangunan di Jawa dan nilai teknologinya. Pont kemudian mengembangkan sistem konstruksi tsb untuk mengakomodasikan fungsi, skala aktivitas dan metoda produksi baru. Pont merasionalkan cara membangun, mematematikan prinsip stuktur Mesjid Yogyakarta, Masjid Agung Cirebon, Bangsal Witana Solo dan Bangsal Kaniyana Yogyakarta.
Pont memang berhasil melogikakan bangunan Jawa dengan sistem struktural modern. Ia melakukannya dengan menekan semua perbedaan sosio budaya, berdasarkan kepantasan formal dan strukturalnya. Misalnya, susunan, penandaan ruang, ekspresi bangunan, aliran kegiatan yang selama ini berjarak antara elite dan rakyat jelata dalam masyarakat Jawa ditiadakan. Sistem hirarkis sosial-budaya masyarakat Jawa yang abstrak, diubah Pont menjadi sistem bangunan dan langgam arsitektur yang netral dan pragmatik. Pont berupaya memahami raga tradisional dan imaji budaya masyarakat asli sebelum menariknya ke ranah ilmiah, meninggalkan spiritual masyarakat asli. Warisan konsepsi arsitektural masyarakat asli Indonesia, dibingkai Pont dalam wujud bangunan dan ekspresi arsitektural, seperti kampus depan ITB.
PONT BERDEBAT SENGIT DENGAN WOLFF SCHOEMAKER
Rupanya, Pont pernah berdebat sengit dengan Wolff Schoemaker, tentang pembentukan langgam arsitektur Indo-Eropa. Pont berpendapat arsitektur Pendopo Keraton, yang merupakan puncak tradisi bangunan Jawa, hendaknya menjadi gaya arsitektur Hindia Belanda. Sebaliknya Schoemaker menganggap Pendopo Keraton Jawa hanyalah satu bentuk dasar arsitektur. Schoemaker lebih fokus pada adaptasi langgam Art Deco Belanda yang lagi ngetrend waktu itu pada iklim tropis Indonesia.
Meski argumen Pont dan Karsten tampak bersimpati pada tradisi, pembacaan kedua arsitek itu terhadap ekpresi arsitektur ideal yang memadukan kejelasan struktur, fungsi publik dan keindahan, berdampak menutupi konsep spasial rumah bangsawan Jawa yang non-figuratif dan tak begitu dikenal. Tradisi lokal hanya dilihat sebagai kosakata bangunan yang estetis, tanpa menyertakan nilai-nilai, penggunaan dan perannya dalam masyarakat pembuatnya.
Kita kurang paham peran pringgitan ; yaitu ruang selasar sempit yang menghubungkan paviliun pendopo dengan paviliun dalem. Peran sosial pringgitan dalam pagelaran wayang di Jawa awal abad 20, jarang kita renungkan. Pringgitan adalah ruang yang memisahkan bagian dalam ( dalem ), dimana keluarga bangsawan dan kerabatnya duduk dan menyaksikan pertunjukan, dan bagian luar ( dalam ruang pendopo ) dimana orang jelata duduk menonton pertunjukan yang sama. Susunan ruang yang canggih ini, baik posisi subyek, tatanan sosial dalam tradisi Jawa, tak pernah kita bayangkan dalam level abstraksi. Sering kita membatasi diri dalam eksperimentasi bentuk ikonik tradisi Jawa ini sehingga hasilnya hanyalah ‘karikatur’ dari warisan asli Jawa.
Mclaine Pont dalam kiprahnya di Indonesia, seolah mempopulerkan pendopo sebagai warisan arsitektur Jawa. Di seantero Indonesia, menjamur reproduksi karikatural pendopo dalam bangunan pemerintah. Yang paling bermasalah adalah kecenderungan menganggap pencarian arsitektur modern Indonesia dapat dilakukan melalui reproduksi wujud bangunan vernakular. Namun terlepas dari kekurangannya, Henri Maclaine Pont telah berani berspekulasi terhadap sebuah kemungkinan arsitektur baru untuk negeri ini. Karena interpretasinya yang memihak, masih banyak jalur yang belum dijelajahi dan dipahami.
Pada masa kolonial, arsitektur menjadi seperti penjajahan itu sendiri. Ambivalen, penuh pertentangan dan ketidakpastian. Dengan karya arsitektur hibridnya, Maclaine Pont telah mengevaluasi keberadaan artefak kolonial Belanda. Sebuah pemberdayaan. Menggugat keseragaman tunggal seperti Barat atau tradisional, menjadi kebersamaan yang lebih rumit dan kritis. Aula Barat ITB dibuat Pont dengan menggabungkan hibriditas dari unsur lokal ( Indonesia ) dan teknik material Belanda. Upayanya mentradisionalkan budaya di pusat ( pemerintahan kolonial ) telah meretakkan struktur-struktur pendukungnya. Mungkin kita perlu berterima kasih untuk itu. Dengan karyanya yang unik dan aspiratif, Maclaine Pont telah menunjukkan penghargaannya pada perbedaan, pertentangan, kemajemukan, kerterbukaan dan penggandaan. Pont sudah merintis dan menginspirasi kita. Arsitektur Indonesia akankah terjadi di masa kita ? ( A.Savitri/ pelbagai sumber )
ILUSTRASI :
Kampus ITB
Kampus ITB
Aula Barat ITB
Foto, potongan dan tampak depan. Foto Aula Barat oleh Mohammad Rizal.
Sekolah Tinggi Teknik di Bandung
Pemilik: Konsorsium, kemudian diserahkan kepada pemerintah dan sekarang menjadi milik Depdikbud RI
Dirancang: Tahun 1918 di Utrecht, Belanda
Dibangun: Mulai 1919 hingga 1920
Inisiatif: Nederlandsch Indie Weerbaar
Konsep: Pokok-pokok dalam penugasan yang diterima Maclaine Pont meminta: “Ruang-ruang yang fungsional, fleksibel untuk program yang bisa berubah, bentuk dan konstruksi yang baik serta tidak mahal”. Persyaratan terakhir ini selalu diminta dari Maclaine Pont, namun tidak pernah terpenuhi. Pont berkali-kali terbelit soal keuangan. Menanggapi tuntutan fleksibilitas program ini Maclaine Pont menetapkan akan mengadopsi penataan massa seperti yang ada di keraton-keraton Jawa, tersebar dengan selasar-selasar penghubung.
Keterangan: Aula Barat ITB adalah karya Maclaine Pont yang paling sering dijadikan ikon. Leerdam maupun Helen Jessup sama-sama mengaku bahwa ketertarikan pada Maclaine Pont bermula dari gedung ini. Bangunan ini menerima respons dari Prof. C.P. Wolff Schoemaker dengan mempertanyakan “Mengapa justru di tanah Jawa, saudara Ir. MP membangun bangunan dengan atap dari Menangkabau ?…” Sebaliknya, karya ini mengundang tanggapan positif pada harian Preangerbode dari seseorang dengan inisial G. Menurut dugaan Haryoto Kunto orang tersebut adalah Ir. J. Gerber, arsitek yang merancang Gedung Sate, Bandung. Arsitek Belanda H.P. Berlage yang berkunjung ke Jawa pada catatan perjalannya menyanjung karya ini. Demikian pula ketika ia memberi ceramah di dalam pertemuan Koninklijke Ingenieur, ia menyambut gembira karya ini sebagai awal dari pencarian akan langgam Indo-Europeesche yang didambakannya.
Denah SCS, Tegal karya Pont.
Denah SCS, Tegal karya Pont.
Het Nieuwe hoffdbureau der Semarang-Cheribon Stoomtrammaatschappij te Tegal
Pemilik: SCS. Sekarang diambil alih oleh Perusahaan Kereta Api Indonesia
Dirancang: Tahun 1910 di Belanda
Dibangun: 1911 – 1913
Konsep: Realisasi Europeesche architectuur in Indie. Untuk merespon lintasan matahari tropik, massa bangunan diletakkan memanjang Timur-Barat sehingga fasad Utara dan Selatan kaya dengan artikulasi arsitektural menangkap cahaya dan ventilasi. Proyek ini mulai dikerjakan ( 01 November 1910 ) di Amsterdam berdasar kontrak selama 3 tahun dengan pihak SCS, anak perusahaan NISM (Nederlands-Indische Spoor-en Trammwegmaatschappij), pemegang konsesi pengelolaan jalur kereta api dari Anyer-Surabaya. Leerdam ( 1995: 209 ) menulis keterangan tambahan mengenai hubungan proyek ini dengan surat dari ir. J. Th Gerlings ( Direktur SCS di Den Haag, mertua Pont sendiri ) kepada Kepala Eksploitasi SCS yang mengusulkan agar Mclaine Pont yang ditunjuk untuk menangani proyek tsb. Menurut Ballegoijen ( 1993: h.157 ) Stasion Kereta Api Tegal di depan bangunan ini dirancang Maclaine Pont.
Poncol
Poncol
Nieuwe Station Semarang-West ( Stasion Kereta Api Semarang Barat )
Pemilik: SCS. Sekarang diambil alih oleh Perusahaan Kereta Api Indonesia.
Dirancang: Tahun 1912 di Semarang
Dibangun: 1913- 1914
Konsep: Kemudahan aksesibilitas calon penumpang dengan mengembangkan selasar terbuka untuk menerima pengunjung dari tempat parkir, dan kemudian menggiringnya ke Hall Utama. Hall yang berdenah setengah lingkaran ini menjadi pumpunan rancangan dengan memberi jendela-jendela kaca-patri. Pada tampak luar dinding Hall ini ditempel kepingan tegel berwarna hitam membentuk tulisan SCS dan 1914.
Stasion Pontjol untuk pertama kalinya menyambung ketiga kota pelabuhan ( Batavia, Cirebon, Semarang ) dengan jalur transportasi kereta api.
Keterangan foto/gambar :
Gambar Stasiun Poncol diambil dari buku: Michiel van Ballegoijen de Jong “Spoorwegstations op Java”, Amsterdam: de Bataafsche Leeuw, 1993, halaman 172, dengan keterangan sebagai berikut: “Sketsa tangan dari arsitek Maclaine Pont megnenai Stasion Pontjol sebagaimana pernah dimuat dalam penerbitan harian ‘de locomotief’, 4 Juli 1911 di Semarang. Foto sekarang (di bawahnya) oleh Mahatmanto.
Pohsarang
Pohsarang
Gereja Katolik Pohsarang, Kediri
Pemilik: Kongregasi Lazaris. Sekarang menjadi milik Keuskupan Agung Surabaya dan menjadi pusat perziarahan Maria keuskupan itu
Dirancang: Tahun 1936 di Majakerta
Dibangun: 1936-1937
Inisiatif: Kongregasi Lazaristen
Keterangan: Atas permintaan Pastor H. Wolters, CM, gereja ini dirancang dengan mengikuti karya bangunan Maclaine Pont sebelumnya: Museum Lapangan di Mojokerto. Gereja kecil ini melengkapi sekolah yang sudah terlebih dahulu ada. Meskipun kecenderungan Gereja untuk mengambil corak lokal baru terjadi ketika tenaga-tenaga gerejawi semakin dihambat di masa Jepang, tapi di tingkat bawah telah terjadi inkulturasi secara diam-diam. Arsitektur Gereja Ganjuran di Yogyakarta tempat Maclaine Pont dibaptis sebagai orang Katolik dan Gereja Puh Sarang ini pun merupakan contoh-contoh awal proses inkulturasi arsitektur gereja dengan corak lokal.
Keterangan foto: Foto gereja Pohsarang oleh Mahatmanto. Gambar Site Plan digambar ulang oleh redaksi dari: Helen I Jessup, Four Dutch Buildings in Indonesia, IV Henri Maclaine Pont’s Church, Pohsarang, Orientations Magazine, December 1982.
----------------------------

Aula Barat ITB: Kuliah Umum Menteri BUMN RI - Dahlan Iskan




Published on Mar 20, 2012
Kuliah Umum Menteri BUMN RI, Dahlan Iskan pada tanggal 17 Maret 2012 dengan Tema "Menuju BUMN Sebagai Perusahaan Kelas Dunia" di Aula Barat ITB.

Refer :
Dr. Merlyna Lim adalah alumni Jurusan Teknik Arsitektur ITB-Bandung, Universitas Katolik Parahyangan-Bandung, dan University of Twente-Enschede, the Netherlands. Ia adalah peneliti di Annenberg Center for Communication, University of Southern California di Los Angeles dan mulai pertengahan Agustus akan menjadi staff pengajar di Arizona State University. 
Amanda Achmadi memperoleh gelar Sarjana Arsitektur dari Universitas Parahyangan, Bandung pada tahun 1998. Sekarang ia sedang menyelesaikan program studi doktoral di bidang arsitektur dan Studi Asia di The University of Melbourne, Australia. Ia adalah seorang kontributor pada buku New Directions in Tropical Asian Architecture (2005, Pesaro Publishing and Periplus Edition), dan Houses for the 21st Century (2004, Pesaro Publishing and Periplus Edition). Tulisannya pernah dimuat di beberapa jurnal akademik, termasuk Journal of Southeast Asian Architecture (volume 7-2005) dari National University of Singapore dan TRIALOG (volume 85-2005) dari Technical Üniversitaat Darsmtadt, Germany. Sekarang Amanda tinggal di Shanghai, China.
Mahatmanto, alumnus Institut Teknologi Bandung ( 1988 ), menempuh studi lanjut sejarah dan teori arsitektur dengan tesis “Henri Maclaine Pont: Representasi dalam Historiografi Arsitektur Kolonial di Indonesia” ( 2001 ) di institut yang sama. Sejak 1991 hingga sekarang ia mengajar di Program Studi Arsitektur, Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta. Selain berpraktik sebagai perancang, ia juga aktif dalam fora diskusi sekitar kesenian, kebudayaan dan spiritualitas di Yogyakarta. Tahun 1999 ia terlibat aktif dan membuat karya dalam workshop ‘Art and Religion’ di Geneva, Swiss. Website:http://lecturer.ukdw.ac.id/mahatmanta/

Sumber: anisavitri.wordpress.com

0 comments:

Posting Komentar

Pencarian

10 Halaman Favorit

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP