powered by Google

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Kamis, 13 Desember 2012


On 12 Des 2012, at 13:37, Didiek Poernomo wrote:


Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu



Saya mengajak teman2 alumni ITB untuk menggali dan mempelajari ajaran-ajaran moral pendahulu kita, seperti apa yang tersirat dalam ajaran “Sastra Jendra Jayuningrat Pangruating Diyu” sebagai bagian dari menanamkan Budi Pekerti.

Dari terjemahan kata atau kalimatnya, Sastra : tulisan, Jendra : Indra (pancaindra), Jayuningrat : meluluhkan/merubah menjadi baik, Pangruwating : Mengurangi,  Diyu :    keburukan /kejahatan/ angkara murka.

Ilmu Sastra Jendra Jayuningrat Pangruwating Diyu adalah ajaran mengenai menuju manusia sejati dengan memahami sifat-sifat alami sebagai manusia dan memberikan kontribusi keindahan/kebahagiaan bagi lingkungannya.

Dengan mengenal watak (nafsu-nafsu) diri pribadi, manusia dapat mengolah watak-wataknya secara jujur sehingga mampu mengendalikan watak-watak jahat demi kehidupan bersama. Seperti kita ketahui tradisi ajaran moral Nusantara tidak diberikan secara terbuka tetapi dalam bentuk pasemon, perlambang, perumpamaan, atau mitologi.

Sebagai ilustrasi ajaran ini digambarkan pada mitologi kisah lomba penjabaran isi ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu? oleh Dewi Sukesi putri Prabu Sumali dengan hadiah dijadikan suami kalau laki-laki dan dijadikani saudara kalau wanita, lomba ini dimenangkan oleh Begawan Wisrawa yang sedang mencarikan istri untuk putranya Prabu Danaraja.

Namun sebelum penjabaran selesai, Dewi Sukesi dan Begawan Wisrawa tergoda oleh nafsu. Diceritakan para dewa di kahyangan tidak berkenan ilmu itu disebarkan kepada sembarang orang, oleh karena itu wejangan Begawan Wisrawa dicegah agar tidak meluas dengan cara Bhatara Guru masuk ke tubuh Begawan Wisrawa dan Bhatari Uma masuk ke tubuh Dewi Sukesi untuk membangkitkan nafsu manusianya. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral,  maka akhirnya mendapat kutukan Dewa yang menimpa pada anak-anaknya. Digambarkan mereka mempunyai anak berwatak 4 watak dasar manusia, sebagai berikut :

1.      Rahwana/Dasamuko berbadan raksasa yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.

2.      Kumbokarno berbadan raksasa yang bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.

3.      Sarpokenoko berperawakan raksasa setengah manusia memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Sarpokenako menjadi simbol nafsu supiyah.

4.      Gunawan Wibisono berperawakan manusia.sebagai anak bungsu mempunyai watak yang sangat berbeda dengan ketiga saudaranya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Rama untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah

Keempat watak tersebut di atas ada pada setiap diri pribadi manusia yang mungkin muncul sesaat pada suatu peristiwa, untuk memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya hendaknya dapat mengendalikan keempat watak tersebut mencapai keharmonisan dan mendapatkan keindahan dunia (Memayu Hayuning Bawono). Nasehat yang terkandung dalam ajaran ini akan menjadi jelas dengan mempelajari ungkapan kenalilah dirimu sebelum mengenal Tuhanmu, merupakan ilmu untuk menyelaraskan watak-watak dasar manusia di atas.



Semoga bermanfaat

Didiek Poernomo - M79 

2 comments:

IA-ITB 13 Desember 2012 pukul 21.21  

From: Iwan Gunawan


Wah, pak Dalang sudah turun gunung.......tek...tek...tek.......selesai......


Salam,
IWG

IA-ITB 13 Desember 2012 pukul 21.21  

Mas Didiek,

Saya ikut menambahkan ya.

Pesan moral yg lain yang terkandung dalam cerita Sastra Jendra ini adalah salah satunya tentang sex education dimana bahwa seharusnya dengan melakukan hal ini dengan baik dan benar maka sifat2 dari 4 anak dari Dewi Sukesi seharusnya menyatu dalam satu pribadi (energinya tidak terpencar).

Ini sejalan dengan falsafah Jawa yang lain. Yaitu sedulur papat kalima pancer, yang menerangkan bahwa dalam satu pribadi manusia terdapat sedulur papat(kekuatan, semangat, kecerdikan, kesucian) dan kalima pancer(sifat ilahi).

Falsafah ini diuraikan kembali dalam falsafah 'Kalimasada' yang menguraikan kelima sifat ini dalam alam jagat raya (sifat binatang, manusia, alam raya, malaikat, Tuhan)

Saya begitu takjub, ternyata nenek moyang kita sudah mengenal ilmu kasampurnaan yg jauh lebih tinggi dan tak kalah hebat dengan ajaran ajaran impor saat ini.

Jayalah Nusantaraku.

-ope GM.'2k

Posting Komentar

Pencarian

10 Halaman Favorit

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP