Menerbangkan lampion di Pantai Parangtritis, Yogya
Jumat, 17 Agustus 2012
Menerbangkan lampion di Pantai Parangtritis, Yogya pada tanggal 5 Juni 20111
Seribu Pendar Harapan di Langit Parangtritis
Pendar-pendar cahaya menghiasi ruang udara di atas Pantai Parangtritis. Menerbangkan beribu doa dan harapan ke angkasa luas.
“Dilimpahkan kemakmuran dan sehat selalu”.
Baris kalimat itu tercantum di selembar kertas, tertempel pada lampion yang berpendar temaram. Tak lama kemudian, pendar cahaya itu melambung pelan ke angkasa. Teriak dan sorak gembira seketika membahana mengiringinya.
Lampion itu tak terbang sendirian. Menyusul di belakangnya ribuan pendar-pendar cahaya lain turut membumbung. Membawa beribu pengharapan yang ditulis tangan-tangan manusia di bawah sana ke luasnya langit malam. Kerlap-kerlip cahaya kekuningan memenuhi langit Parangtritis.
Begitulah suasana saat berlangsungnya malam perayaan Peh Cun 2011 di Pantai Parangtritis Baru Yogyakarta, 5 Juni lalu. Ribuan manusia dari wilayah DIY dan sekitarnya tumpah ruah memenuhi kawasan objek wisata tersebut. Tak hanya warga Tionghoa saja namun juga masyarakat umum dari beragam keyakinan. Mereka dengan antusias tinggi ikut serta menerbangkan Lampion Harapan.
Para peserta terlebih dahulu menuliskan harapannya pada selembar kertas dan ditempel di sisi badan lampion. Setelah itu mereka memanjatkan doa supaya harapannya terkabul. Barulah setelahnya, mereka melepaskan lampion ke udara dengan semangat berapi-api dan riuh sorakan. Parangtritis begitu meriah malam itu.
Acara di Pantai Parangtritis dimulai sejak pukul 18.00 WIB. Diawali dengan ritual doa dipimpin pemuka agama Buddha. Ratusan warga keturunan Tionghoa turut memanjatkan doa dalam ritual ini. Setelah berdoa, mereka kemudian melarung aneka persembahan ke laut lepas.
Masyarakat juga dihibur dengan pertunjukan Barongsai, Tari Pedang dan sendratari berjudul “Kesetiaan Sang Menteri”. Sendratari ini mengisahkan tentang Khut Gwan, seorang Menteri yang sangat dicintai oleh rakyatnya. Hingga akhirnya ia bunuh diri dengan menenggelamkan diri di sungai Mi Lo karena dikhianati oleh rajanya sendiri.
Rakyat yang merasa sedih kemudian mencari jenazah sang menteri di sungai dengan menggunakan perahu. Mereka melemparkan berbagai makanan ke dalam sungai agar ikan-ikan tidak mengganggu jenazah sang menteri. Makanan tersebut juga dibungkus dedaunan agar naga yang tinggal dalam sungai tidak memakannya.
Sampai saat ini, usaha pencarian jenazah sang menteri tersebut diperingati warga Tionghoa sebagai tradisi Peh Cun. Peh Cun sendiri adalah dialek Hokkian untuk pachuan yang berarti mendayung perahu. Makanan yang dibungkus dedaunan tersebut kemudian kita kenal sebagai bakcang. Itulah mengapa dalam perayaan Peh Cun selalu ada tradisi makan bakcang dan diadakan lomba perahu naga (dragon boat).
Singgih Wahyu N; Foto: Budi Prast.
Sumber: kabaremagazine.net
0 comments:
Posting Komentar