powered by Google

Ilmu Terapan: Kasus Marketing dalam Soal-Soal Sepele

Sabtu, 19 April 2014


Anak-anak dengan Ilmu Terapan
Oleh : Rhenald Kasali
Guru Besar Fakultas Ekonomi UI



DARI dulu saya selalu berpikir, ilmu itu harus bisa diterapkan. Tetapi, sewaktu kuliah pada 1980-an dahi saya selalu berkerut. Saya se­ring heran mendengarkan ku­liah yang hebat-hebat, bahkan tak se­dikit yang membuat saya tak me­ngerti.

Masalahnya, saya selalu men­cari cara bagaimana agar bisa m­e­nerapkannya. Hingga hari ini, se­tiap kali menyaksikan debat atau ribut-ribut bicara para tokoh di TV, saya pun masih suka menge­rut­kan dahi. Otak saya dengan ce­pat memilah, mana orang yang praksis (kontekstual, dapat dijalankan) dan mana yang pembual.

Sekarang saya mengerti me­ngapa semakin banyak orang menjadi seperti itu. Kalau ini dibiarkan, saya khawatir cara ini hanya akan lebih banyak meng­hasilkan caleg daripada ek­se­kutif. Di dunia kerja se­makin ba­nyak yang me­ngeluh bahwa sarjana kita kurang siap pakai.

Pendidikan kita telah lebih banyak melahirkan orang-orang yang baru bisa bicara dan kurang praksis. Inilah saatnya memperbaiki pendidikan, bah­kan mewaspadai ke mana anak-anak kita akan disekolahkan.

Ilmu Basic
Kita bisa membedakan science dalam basic danapplied . Dulu saya berpikir, untuk jadi negara maju, Indonesia perlu le­bih banyak menguasai basic danapplied. Teman-teman saya dari Rusia dan Tiongkok, se­waktu mengambil studi dok­toral di Amerika Serikat pada 1990-an tampaknya mirip de­ngan kita.

Dengan basic science, kita bisa menertawakan mahasis­wa-mahasiswa asal Amerika Serikat, Canada, dan Australia karena sepertinya mereka “bego se­kali” basic sciencenya. Kami men­jelaskan rumus-rumus ma­­tematika, biologi, dan kimia begitu mud­ah yang ternyata sulit dipahami ma­hasiswa kulit putih itu. Aneh­nya, kalau soal aplikasi, merekalah jagonya.

Belakangan saya ketahui, di negara-negara maju, selain liberal arts, mereka sangat kental mengembangkan applied science. Ya, ilmu-ilmu terapan yang bisa dipakai. Bahkan, por­sinya 70 persenapplied dan hanya 30 persen basic. Mereka menjadi lebih praktis, simple, dan actionable.

Ini berbeda benar dengan rata-rata lulusan kita, yang ham­­­pir 100 persen belajar da­lam ranah basic science. Karena itu, ketika kita mem­perkenal­kan kewirausahaan dalam ra­nah tersebut, kita hanya banyak berkutat dalam business plan. Kata ilmuwan dari Babson College, itu bukan riil entrepreneur, melainkanpaper entrepreneur.

Dan, seperti itulah muara dari kebanyakan kampus kita. Harap diingat, basic science sa­ngat mengedepankan meto­do­­logi, dengan landasan mate­ma­tika yang kuat. Lebih me­nge­depankan control variable dan modelling, karena kinerja output-nya dinilai dari jumlah pu­blikasi ilmiahnya. Setelah itu, tak ada yang mampu meng­apli­kasikannya.

Secara berseloroh saya per­nah menyindir mahasiswa-ma­hasiwa saya di kelas International Marketing, khususnya me­reka yang mendapatkan nilai A dari kelas sebelumnya (mar­keting principle). Saya ka­ta­­kan saya tak percaya. Buk­tinya, pakaian mereka tidak matching, miskin senyum, bran­ding-nya tidak dibangun, bahkan banyak yang kesulitan mendapatkan pacar.

Lho, buat apa belajar mar­ke­ting kalau tidak bisa me­ne­rap­­kannya dalam soal-soal se­pele? Saya setuju dengan Anda, it’s time to change. Tapi, bagai­mana kalau bos-bos mereka sa­ma saja?

Podomoro University
Hari-hari ini saya pun sibuk menyeleksi dosen. Beberapa syarat saya ajukan kepada divisi SDM: Cari orang-orang yang applied science-nya kuat, mental melayaninya nomor satu, dan tentu saja enak dilihat, pu­nya ke­mampuan dalam karya, praksis!

Usul saya itu rupaya sejalan dengan teman-teman dari Boston: Babson College. Ini adalah kampus mahal di Amerika Se­rikat yang oleh pengembang Agung Podomoro diperke­nal­kan kepada saya. Lewat sebuah kerja sama kedua terbesar sete­lah dengan seorang pengusaha dari Uni Emirat Arab, Babson be­gitu serius menyemai benih-be­nih kewirausahaan dan applied science di sini.

Oleh Trihatma Haliman, chairman Podomoro, saya pun dipercaya memimpin kampus ini yang kami beri nama Podo­mo­ro University. Sewaktu di­ajak bicara, kami pun me­nuang­kan mimpi-mimpi indah ka­mi yang berawal dari ke­pri­hatinan akan lulusan-lulu­san universitas yang tidak aplikatif.

Pak Trihatma me­nyam­pai­kan kepada saya bahwa hotel-hotelnya bintang dua hingga bintang enam (Sofitel di Bali) bisa digunakan untuk praktik ma­hasiswa. Mahasiswa bisa be­lajar dari arsitek-arsitek kelas d­u­nia (termasuk yang mem­ba­ngun Burj Al Arab di Dubai) yang membuat rancangan ba­ngunan superblok grup ini.

Anak-anak muda bisa ber­ekspresi, berpengetahuan, dan belajar dengan menyenangkan, lang­sung mengaplikasikan il­mu­nya. Mereka juga bisa me­man­faatkan trade center (Mang­ga Dua), proyek-proyek kons­truksi sampai mal-mal besar untuk menguji karya-karya mereka.

Itulah impian-impian baru saya yang tengah saya kawinkan dengan gerakan-gerakan sosial dari Rumah Perubahan.

Saya pikir, inilah saatnya, menanamkan applied science kepada anak-anak didik kita agar mereka tak lagi sulit men­cari kerja. Bahkan, agar mereka bisa mewujudkan cita-cita para pen­diri bangsa: membuat ne­geri ini makmur dan sejahtera! (*)

-------------------------

Komentar di Senyum-ITB Facebook :


  • Ken Suyitno likes this.
  • Ramadhani Eka Putra Kalau saya melihat, mahasiswa kurang diajarkan untuk mengintegrasikan basic science yang mereka miliki. Semua berkutat pada rumus dan ilmu mereka sendiri. Saya ambil contoh kasus di biologi bagaimana proses replikasi DNA dijelaskan paling baik saat math, physic, chemistry, dan biology digabungkan serta sistem peredaran darah dijelaskan dengan hukum bernouli 



0 comments:

Posting Komentar

Pencarian

10 Halaman Favorit

  © Blogger template On The Road by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP