Redenominasi Rupiah dan Trauma Sanering
Kamis, 07 Februari 2013
Redenominasi Rupiah dan Trauma Sanering*)
Darmin Nasution, gubernur baru Bank Indonesia, mengawali kiprahnya dengan sebuah wacana menarik tentang rencana redenominasi rupiah (03/08) yang akan mulai dilakukan sosialisasinya mulai tahun 2011 dan diterapkan pada tahun 2022. Sebuah lontaran yang pasti menghangatkan suasana, apalagi Indonesia adalah sebuah negara demokrasi yang sedang berkembang, sontak topik ini menjadi perbincangan bagi semua kalangan terutama para ekonom, politisi, dan pelaku bisnis. Banyak yang memandang sinis akan hadirnya kebijakan ini. Harap maklum masih banyak yang menyamakan redenominasi dengan sanering.
Redenominasi bukan sanering atau devaluasi. Sanering (berasal dari bahasa Belanda) adalah pemotongan nilai mata uang sekaligus nilai tukarnya. Kalau tadinya kita mempunyai uang Rp 1.000 dan dapat membeli barang, katakanlah beras 1 kg, dengan nilai yang sama yaitu Rp 1.000, lalu setelah diberlakukan sanering menjadi Rp 1, maka kita tidak dapat lagi membeli beras 1 kg tersebut dengan Rp 1 yang kita miliki. Indonesia melakukannya pada tahun 1965 ketika terjadi hiper inflasi dan mata uang pada saat itu dipatok terhadap mata uang asing. Karena nilai rupiah sudah tidak mencerminkan nilai tukar riilnya lagi, maka sanering adalah pilihan pahit yang harus dilakukan pemerintah pada saat itu. Sanering menyisakan trauma hebat bagi masyarakat Indonesia yang mengalami. Bagaimana tidak, di saat kondisi politik tanah air yang sangat tidak stabil setelah terjadinya G30S, lalu harga-harga yang melesat naik tinggi karena hiper inflasi, lalu uang yang dipunyai masyarakat tiba-tiba berkurang nilainya dari Rp 1000 menjadi Rp 1. Kejadian akibat kebijakan ini terus menghantui masyarakat yang menyisakan trauma serius akan kebijakan moneter dan juga menghinggapi pada pengambil kebijakan moneter.
Sedangkan devaluasi atau revaluasi adalah menyesuaikan nilai mata uang dalam negeri dengan menurunkan nilainya terhadap mata uang asing atau acuan. Misalnya rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Untuk hal ini Indonesia sudah sangat sering melakukannya ketika Pemerintahan Orde Baru yang juga menerapkan kurs tetap (fixed currency). Devaluasi dilakukan karena kurs yang dipakai sudah tidak mencerminkan nilai tukar riil uang itu sendiri, sehingga ketika nilainya dipatok pada angka tertentu maka pemegang otoritas seaktu-waktu harus menyesuaikan dengan nilai tukar riilnya.
Redenominasi sendiri adalah penggantian nilai mata uang tanpa menurunkan atau menaikkan nilai tukar riilnya. Sama sekali berbeda dengan sanering atau devaluasi. Masih dengan contoh di atas, jika kita tadinya punya uang Rp 1.000 dan cukup untuk membeli 1 kg beras, maka ketika dilakukan redenominasi dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, maka harga 1 kg beras dapat dibeli dengan Rp 1 tersebut . Dari ilustrasi sederhana ini sepertinya kebijakan ini akan sangat mudah untuk diterapkan tetapi faktor-faktor di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan tentu saja psikologi masyarakat menjadi pertimbangan.
Dalam teori ekonomi, redonominasi tidak menimbulkan dampak apapun. Berbeda dengan sanering dan devaluasi yang disamping punya dampak langsung terhadap nilai tukar dari uang yang dipegang oleh masyarakat, juga dampak ekonomi lainnya akibat lanjutan dari kebijakan ini yang meliputi ekspor-impor, inflasi, hingga pertumbuhan ekonomi.
Denominasi rupiah saat ini adalah Rp 100000 untuk pecahan tertinggi lalu berturut-turut pecahan 50000, 20000, 10000, 5000, 2000, 1000, 500, 200 dan Rp 100 untuk pecahan terendah. Pecahan 100 ribu untuk saat ini adalah pecahan uang nomor 3 tertinggi di dunia setelah Zimbabwe dengan 10 juta dollar Zimbabwe dan Vietnam dengan 500 ribu Dong.
Denominasi rupiah saat ini memperlihatkan ‘rendahnya gengsi’ mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Di negara Asean dan bahkan Asia, nilai Rupiah adalah yang kedua terkecil nilainya setelah Vietnam. Angka nol dalam rupiah sudah mengalami ‘inefisiensi’, sehingga sering dalam penulisan harga selalu dipakai ‘denominasi tambahan’, misalnya dalam ribuan atau bahkan jutaan.
Kebijakan redenominasi biasanya diambil oleh negara-negara yang nilai mata uangnya kecil akibat perekonomian sebelumnya yang tanpa kontrol sehingga mengalami hiper inflasi. Setelah negara tersebut melakukan stabilisasi perekonomian terlebih dahulu, baru kemudian dijajaki tentang kemungkinan penerapan redenominasi. Redenominasi akan sangat beresiko ketika perekonomian belum mantap terutama jika inflasi belum dapat dikendalikan dengan baik oleh otoritas moneter.
Salah satu contoh yang berhasil adalah Turki. Turki mengalami hiper inflasi hebat pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an hingga otoritas moneter di sana mengeluarkan denominasi Lira hingga pecahan 1 juta. Denominasi ini berlaku cukup lama hingga mencapai 3 dekade karena otoritas moneter Turki lebih sibuk melakukan stabilisasi perekonomian. Baru pada tahun 1990-an otoritas moneter di Turki mulai mensosialisasikan kebijakan redenominasi lira ketika perekonomian Turki mulai stabil, terutama inflasi yang rendah dan sangat terkendali. Lalu pada tahun 2005 ketika perekonomian Turki sedang dalam keaadaan mantap otoritas moneter melakukan redenominasi dengan menghilangkan 6 angka nol pada nilai 1 juta. Jadilah nilai 1 Lira sama dengan nilai tukar 1 juta lira yang lama. Kebijakan ini diterapkan pada tanggal 1 Januari 2005, tetapi masih diberikan tenggang waktu yang cukup hingga 2009 sampai uang lama yang beredar di seluruh dunia telah tertukar dengan uang yang baru semua.
Selain Turki, negara-negara lain yang cukup berhasil melakukan redenominasi mata uangnya adalah negara-negara bekas Uni Soviet diantaranya adalah Azerbaijan pada 2009 dimana 5.000 Manat (lama) menjadi 1 Manat (baru) , lalu Turkmenistan pada tahun 2009 dengan mata uang dan denominasi yang sama dengan Azerbaijan.
Pengelaman negara lain selain redenominasi adalah penggantian mata uang dari yang lama ke yang baru, dimana kebijakan ini senada dengan redenominasi. Dalam perlakuan akuntasi ekonominya, penggantian ini tidak menimbulkan naik/turunnya nilai tukar riil uang yang dipegang oleh masyarakat. Contoh yang paling menyita perhatian adalah kebijakan mata uang tunggal Eropa pada tahun 2002 dimana beramai-ramai 12 negara anggota Uni Eropa mengganti mata uangnya ke Euro. Tidak sedikit terjadi kegagapan di negara-negara tersebut walaupun tingkat pendidikan penduduknya sudah sangat maju dan merata. Contohnya di Belanda yang sebelum Euro memakai mata uang Gulden. Belanda sudah menyatakan akan bergabung dengan zona Euro pada tahun 1999 atau 3 tahun sebelum penerapannya. Sosialisasi dilakukan secepatnya guna mengejar tenggang waktu penerapan, tentu saja optimalisasinya sangat kurang. Lalu ketika diterapkan pada tanggal 1 Januari 2002 dengan kurs 1 Euro = 2,2 Gulden kegagapan masih terjadi di sana-sini. Skenarionya para pelaku pasar akan menyesuaikan dengan kurs tersebut, tetapi yang terjadi justru penggampangan kurs dimana 1 Gulden disamakan dengan 1 Euro. Akibatnya inflasi pada tahun 2002 cukup mengkhawatirkan otoritas moneter Belanda karena harga-harga (seolah-olah) tiba-tiba naik.
Indonesia saat ini masih terus berjuang mengangkat perekonomian dan tentu saja menyetabilkan inflasi dan nilai mata uang rupiah semenjak mengalami krisis moneter hebat pada tahun 1998 lalu. Krisis tersebut telah mengantarkan Rupiah menukik nilai tukarnya. Kalau dulu 1 dolla AS masih sekitar Rp 2000-an, kini tidak pernah turun dari Rp 9000. Stabilnya nilai Rupiah pada kisaran tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menjadi landasan dalam upaya melakukan redenominasi Rupiah, tentunya faktor-faktor yang lain juga harus diperhatikan.
Alternatif Redenominasi
Lalu bagaimana kemungkinan redenominasi tersebut? Wacana pertama yang dimunculkan BI adalah menghilangkan tiga angka nol, artinya Rp 1000 (lama) akan menjadi Rp 1 (baru). Nilai ini akan menjadikan Rupiah mendekati nilai mata uang Yuan milik China, dan Dollar Hongkong. Jika denominasi ini diterapkan, dengan memperhatikan denominasi yang lama maka akan ada 3 pecahan uang dibawah nilai Rp 1 atau menjadi pecahan sen rupiah yang meliputi Rp 0.5 untuk Rp 500 lama, lalu Rp 0.2 dan 0.1 untuk Rp 200 dan Rp 100 lama. Pemakaian denominasi ini tidak begitu rumit karena hanya 3 pecahan di bawah Rp 1. Bandingkan dengan Euro atau Dollar AS yang mempunya pecahan sen hingga 10 pecahan dari 0,01 hingga 1 Euro atau 1 Dollar AS.
Pilihan kedua adalah menghilangkan 2 angka nol, artinya Rp 100 (lama) menjadi Rp 1. Jika ini yang diterapkan, dengan mengacu denominasi yang lama maka Rp 1 akan menjadi denominasi terkecil dan tidak ada lagi uang pecahan di bawah Rp 1. Dari segi kerumitan, sepintas opsi ini lebih memungkinkan dibandingkan opsi pertama. Opsi ini juga akan menempatkan Rupiah menjadi setara Yen milik Jepang.
Pilihan ketiga dan keempat adalah menghilangkan 1 angka nol dan 4 angka nol. Untuk 1 angka nol maka yang terjadi adalah tidak akan ada lagi pecahan dibawah Rp 1. Tetapi kebijakan ini cenderung ‘nanggung’ karena dengan memperhatikan denominasi yang lama maka Rp 1 tetap tidak akan pernah ada karena sudah sangat lama Rp 10 ‘punah’ dari peredaran. Lalu jika menghilangkan 4 angka nol, nilai Rupiah akan menjadi sangat tinggi dan otomatis ‘gengsinya’ pun tinggi. Bayangkan jika Rupiah setara dengan Dollar AS dan Euro, tentu akan sangat membanggakan semua pemegang Rupiah. Namun akan banyak pecahan di bawah Rp 1, yaitu Rp 0.5 untuk Rp 5000, Rp 0.1 untuk Rp 1000, lalu berturut-turut Rp 0.05, Rp 0.02, dan Rp 0.01 untuk Rp 500, Rp 200, dan Rp 100. Jadi akan ada 5 pecahan di bawah Rp 1.
Kerumitan yang terjadi di masyarakat tentunya adalah masalah pecahan sen di bawah Rp 1. Penduduk Indonesia yang menurut BPS mempunyai jumlah orang miskin dengan penghasilan dibawah 2 dollar AS per hari (Rp 20000 per hari) tentu akan sangat dibuat sibuk oleh redenominasi ini. Mereka akan sibuk melakukan convert uang mereka yang akan banyak menjadi sen rupiah. Jika penduduk miskin tersebut diasumsikan juga mempunyai tingkat pendidikan yang rendah pula, maka pelajaran matematika pembagian juga pasti mereka lemah, dan tentu saja makin susah membuat masyarakat golongan ini menerima redenominasi rupiah baru.
Dari 4 pilihan tersebut sebaiknya dipilih yang paling sedikit pecahan sen atau bahkan tanpa pecahan sen dibawah Rp 1. Tampaknya opsi pertama (menghilangkan 3 angka nol) dan kedua (menghilangkan 2 angka nol) adalah alternatif yang lebih memungkinkan untuk dipilih. Opsi kedua bahkan tidak ada pecahan sen dibawah Rp 1. Jika ini yang dipilih maka Indonesia akan mempunya Rupiah yang berdiri setara dengan Yen Jepang yang tentunya juga cukup ‘berwibawa’.
Kebijakan ini, sekali lagi dari segi teori ekonomi seharusnya tidak akan menjadikan dampak apa-apa karena tidak ada perubahan nilai secara riil. Namun, kondisi sosiografi masyarakat yang rentan akan isu-isu yang membuat rasionalitas penduduk berkurang tentu harus menjadi perhatian tersendiri. Kebijakan apapun memungkinkan akan adanya pencari rente (rent seeker), baik dengan motif ekonomi maupun politik, yang akan memanfaatkan kepanikan masyarakat. Yang punya motif ekonomi tentu saja akan ‘memainkan’ kepanikan itu dengan mengambil aksi untung pada Pasar Modal dan Pasar Uang, sedangkan yang punya motif politik bisa menjadikan kebijakan ini sebuah peluru untuk ‘menembakkan’ ke pihak lain.
Untuk itu, Pemerintah dan BI, sebagaimana pengalaman Turki dan negara-negara lain dalam menerapkan kebijakan ini perlu melakukan sosialisasi yang sangat intens, panjang dan berkualitas sampai masyarakat mempunyai pengetahuan yang cukup lengkap dan sempurna (perfect foresight) akan kebijakan ini. Terjadinya informasi yang tidak sempurna (asymmetric information) akan menjadi pintu masuk para pencari rente dan mereka akan memanfaatkan keadaan ini demi keuntungan mereka. Sosialisasi yang baik tidak akan membuat masyarakat kehilangan rasionalitasnya akan nilai tukar yang mereka pegang.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, salah satu kebesaran itu harus kita tunjukkan bahwa kita bangga memegang uang Rupiah. Untuk jangka panjang, redenominasi Rupiah adalah keniscayaan. Lupakan trauma sejarah, karena redenominasi bukanlah sanering.
*) Artikel ini tulisan versi asli dari artikel opini dengan judul yang sama yang dimuat di Media Indonesia Jumat, 6 Agustus 2010.
**)Muhyiddin, MSc, MSE adalah ekonom, bekerja di Bappenas. Tulisan ini opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan institusi dimana penulis bekerja.
0 comments:
Posting Komentar