Video: Metode "Stem Cell" untuk pengobatan Gagal Ginjal

Baca juga:
- Info Ristek: Pengalaman Dahlan Iskan menjalani Terapi "Stem Cell"

--------------------------------

From: "Hendri Djoesan 

Sender: Senyum-ITB@yahoogroups.com

Date: Wed, 6 Aug 2014 18:49:38 -0700

Subject: Re: [Senyum-ITB] Donor Ginjal

Bli Erik,

Apa kabar nih?
Maaf ngak sempat ketemuan waktu pulang ke Bandung kemaren.

Sedikit berbagi cerita mengenai masalah ginjal ini.

Kebetulan kawan saya barengan di Mushalla di apartment saya punya kasus tentang ginjal juga. Orang Malaysia asli.

Dia mengalami masalah ginjal sekitar 10 thn yang lalu. Sampai2 dia harus pergi treatment ginjalnya ke New Zealand, karena disana pusatnya technology "stem cell". Dia berobat kesana dengan metoda perbaikan hormone ginjal dengan menggunakan "stem cell" dari kelinci, dia katakanya setelah masa 6bln - 1 thn proses recovery alhamdullilah sampai saat sekarang ginjalnya kembali berfungsi dengan baik tanpa makan obat dan cuci darah.
Karena keberhasilannya treatment ini, perusahaan atau lab tempat di berobat itu lansung dia aqusisi atau beli, dia jual power plant nya di Sabah untuk membeli perusaah tsb. Karena kebetulan dia seorang pengusaha.

Saat ini laboratoriumnya dan sekalian peternakan species kelinci yang  khusus untuk steam cell ini (arnab kata orang Malaysia) diproduksi di Vienna Austria. Saat ini perusahaannya tsb khusus memproduksi "stem cell" dari kelinci untuk kawasan Eropa. Saat ini "stem cell" yang dia produksi lebih banyak untuk keperluan anti aging.

Untuk pengembangan usahanya, saat ini dia sedang membangun laborarorium khusus untuk "stem cell" ini di Yogyakarta, yang produckinya untuk keperluan market South East Asia. Untuk proses treatmentnya, dia juga membangun 3 rumah sakit khusus untuk keperluan ini di 1 Yogyakarta, 1 di Bali dan 1 lagi di Lombok berikut dengan dokter ahlinya sekalain. Kebetulan dalam beberapa minggu ini dia akan menetap di Yogya untuk keperluan bisnisnya ini.

Waktu saya tanyakan apakah dia menyediakan untuk treatment ginjal ngak? Dia bilang dia bisa menyediakannya karena dia punya dokter ahlinya. Katanya biayanya jauh lebih murah dari transplantasi dan ini tidak memerlukan obat setelah itu untuk menjaga ginjalnya.

Kalau ada kawan2 yang berminat untuk mendapatkan informasi, bisa saya hubungkan dengan beliau. Karena setiap malam kita ketemu dan ngobrol2.

OK, Erik dan kawan2, mudah2an bias memberikan sedikit informasi dan juga membantu.

Wass

Hendri

Kuala Lumpur

-------------------------

On Tuesday, August 5, 2014 3:59 PM, "'B. Antariksa (Erik) wrote:

Terima kasih tambahan infonya, Bang Indra.


Salam kompax
Erik

============

From: "indra.djh@

Sender: Senyum-ITB@yahoogroups.com

Date: 05 Aug 2014 00:29:47 -0700

Subject: [Senyum-ITB] Re: Bls: donor ginjal

Mas Sigit, perkenankan saya ikut menambah-nambah informasi tentang masalah cangkok ginjal. Memang benar kalau untuk cangkok ginjal di China kita bisa memesannya melalui agen. Tapi untuk cangkok ginjal di Indonesia, saya belum pernah mendengar ada orang yang bertindak sebagai agen penjual organ. Bisa kena pidana nantinya dia. Yang benar, banyak orang berkeliaran di seputaran Dialysis Center untuk menawarkan ginjalnya.

Karena di Indonesia belum ada database calon donor, maka untuk mencari donor kita harus rela keluar biaya untuk melakukan pencocokan (crossmatching) dengan melakukan test HLA (Human Leukocyte Antigen) dan PRA (Percent Reactive Antibody). Jadi bukan semata-mata golongan darah yang dicocokkan. Malahan ada banyak kasus transplantasi yang golongan darahnya tidak sama tetapi status HLA dan PRA dianggap cocok.

Cangkok Ginjal di China Sudah Tidak Sederhana Lagi

Sejak WHO menyoroti praktek transplantasi di China, maka biaya operasi disana menjadi tidak murah lagi. Sebelum 2010, kita tinggal kontak agen atau via dokter di Indonesia (yg menjadi agen pemasarannya), yg ditanya cuma golongan darah kita. Untuk golongan darah O biayanya USD 42.000 sedangkan golongan darah selain O (A, B, atau AB) biayanya USD 37.000. Saya tidak tahu mengapa demikian.

Biaya-biaya itu sudah meliputi tiket JKT-Guangzhou-JKT utk pasien dan agen (translator), biaya membeli ginjal, biaya operasi, biaya post operation selama 3 hari (SAJA). Biasanya pasien juga membawa dokter dari Indonesia, sudah tentu biaya biayanya menjadi tanggungan si pasien. Untuk persiapannya, kita hanya cukup melakukan test darah (HLA dan PRA) di rumah sakit di Indonesia, kemudian hasilnya diserahkan ke agen untuk kemudian dikirim ke China untuk dicarikan donor yg cocok. Biaya test HLA dan PRA sekitar 20 jutaan rupiah, biasanya dilakukan di RS Pertamina, RSPAD, RS Cikini, dan RSCM. Test darah ini belum bisa dilakukan di setiap laboratorium karena cairan reagennya sangat terbatas pasokannya. Selanjutnya kita cuma tinggal menunggu kabar tentang ketersediaan donor. Jika sudah ditemukan bisa langsung terbang ke Cina, 1 - 2 hari kemudian sudah bisa dilakukan operasi pencangkokan.

Karena WHO mencurigai terjadinya praktek jual-beli ginjal (atau organ lainnya), maka sekarang si pasien sudah tidak bisa menunggu di Indonesia. Begitu kita setuju untuk melakukan transplantasi, maka si Pasien sudah harus langsung berangkat dan menunggu di China. Ketika donor ditemukan, maka keesokan harinya kita bisa langsung dioperasi. Masalahnya, untuk mencari donor memerlukan waktu yg relatif lama, biasanya paling cepat 3 bulan, malah ada yg sampai setahun. Akibatnya biaya menjadi bertambah besar karena diperlukannya biaya hidup selama waktu tunggu tersebut (meals, accomodation, dll). Beberapa waktu yg lalu, ada calon pasien yg terpaksa membatalkan operasi karena sudah menunggu 3 bulan dan tetap belum memperoleh donor. Biaya yg dicadangkan untuk operasi mulai tergerus untuk ongkos hidup selama menunggu di China.

Kalau tertarik untuk menjajagi kemungkinan cangkok ginjal di China, bisa coba menghubungi Pak Bong (+62 856 1172130 atau +62 812 9269148) atau beberapa dokter spesialis ginjal & hipertensi yang menjadi sub-agennya.

Dokter dan Rumah Sakit di Indonesia Sudah Mampu

Dokter dan rumah sakit di Indonesia sebenarnya sudah mampu melakukan operasi transplantasi ginjal. Operasi cangkok ginjal pertama kali dilakukan di Indonesia pada tahun 1977. Namun sayangnya Pemerintah kita belum memberikan perhatian yang cukup besar. Selanjutnya Pemerintah terus mendukung peningkatan keterampilan dokter dan kemajuan teknologi rumah sakit dalam melakukan tindakan pencangkokan. Anehnya, dari sisi Undang-undang tidak pernah dibuatkan pasal-pasal yang mendukung legalisasi pencangkokan organ manusia. Undang-undang Kesehatan perlu diperbaharui untuk menghindari tuduhan praktek jual-beli organ. Pasal jual-beli organ ini adalah pasal pidana.

Karena belum adanya dukungan dari DPR dan Pemerintah, maka hingga saat ini kita belum mempunyai bank donor organ, sehingga si Pasien harus mencari sendiri calon donornya. Saat ini yang ada hanya sebatas bank donor mata. Undang-undang kesehatan yg terakhir (2009) hanya mengesahkan praktek donor jenazah (cadaver). Jika donor dari orang hidup maka sangat besar kemungkinan kita kena jerat hukum karena melakukan jual-beli organ KECUALI kita menyatakan si donor tersebut adalah salah satu keluarga kita yg memberikan cuma-cuma ginjalnya. Itu sebabnya, biasanya donor di Indonesia akan dibuatkan KTP, dimasukkan dalam Kartu Keluarga untuk membuktikan bahwa si calon donor adalah bagian dari keluarga akseptor. Saya tidak mengikuti situasi terakhir, bagaimana caranya mengakali KTP setelah mulai berlakunya program e-KTP. Yang pasti, Undang-undangnya masih sama, tetapi jumlah operasi pencangkokan semakin banyak.

Dokter tidak mau tahu atau pura-pura tidak tahu, selama ada pernyataan bahwa tidak terjadi transaksi jual-beli maka operasi pencangkokan segera dipersiapkan. Ada formulir isian khusus yg menjamin dokter tidak terlibat dalam transaksi donor-akseptor, walaupun dalam prakteknya dokter juga yang banyak memberikan petunjuk bagaimana mengakali Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yg masih berlaku ini.

Sebagai pembanding, di Amerika bank donor organ sudah disediakan. Setiap orang yang bermaksud menjadi donor baik hidup (ginjal, hati) ataupun mati (jantung, mata) bisa mendaftarkan diri di bank donor tersebut. Sebaliknya, calon akseptor juga mendaftar dan masuk dalam suatu sistem daftar tunggu nasional. Jika ditemukan kecocokan, maka donor, akseptor akan langsung dihubungi dan secepat mungkin segera dilakukan persiapan operasi. Salah seorang putra pahlawan nasional kita, dr Hafil Roeslan Abdul Gani pernah menjadi dokter spesialis cangkok jantung di Amerika (sekarang Dirut RS BSD Medika). Beliau bercerita bahwa pernah dijemput dari bioskop oleh polisi setelah menerima berita via beeper tentang adanya donor jantung yang baru saja meninggal. Selanjutnya beliau dikawal sampai ke airport, terus dibawa dengan pesawat jet ke kota tujuan, terus dikawal lagi hingga ke rumah sakit tujuan. Disitu sudah menunggu pasien akseptor dan tim yang membawa jantung sang donor di dalam cool box khusus yang dibawa dari kota lainnya. Sistemnya sudah jalan, hitungan menit ke menit sehingga keinginan donor dan akseptor dapat dipenuhi oleh negara. Kapan ya kita akan punya sistem informasi donor-akseptor seperti itu?

Serba Serbi Mencari Donor Ginjal

Sumber ginjal cangkokan yang paling ideal, mudah dan murah adalah yang berasal dari jalur keluarga si pasien. Bisa dari saudara kandung si pasien, bisa juga dari keluarga jauh seperti sepupu, keponakan, dsb. Jika dari jalur keluarga, maka probabilitas mengalami penolakan setelah pencangkokan akan lebih kecil. Sebagai informasi tambahan, walaupun donor-akseptor sudah dinyatakan cocok (crossmatching) berdasarkan test darah, biasanya masih saja terjadi kasus ketidakcocokan. Jika terjadi demikian, maka pasien harus cuci darah lagi atau melakukan cangkok ginjal lagi.

Di Indonesia, untuk mencari donor ginjal di luar jalur keluarga sebenarnya tidak susah. Banyak agen dan juga calon donor yang duduk-duduk di sekitar ruang haemodialysis, pura-pura sebagai keluarga atau pendamping pasien dialysis. Biasanya mereka secara berbisik-bisik akan menawarkan ginjal mereka atau punya siapa saja. Harganya berkisar 75 - 100 juta rupiah, biasanya sampai pake acara menangis dengan alasan ingat anak di rumah yg belum makan atau tidak bisa sekolah.

Selain itu, kita bisa juga yang aktif mencari orang yang bersedia menjadi donor. Informasi bahwa hidup dengan satu ginjal tidak bermasalah menyebabkan banyak orang yang bersedia menjadi donor selama harganya cocok. Biasanya keluarga pasien atau agen akan mencari calon donor di daerah pinggiran atau desa-desa. Mengapa demikian? Pertama, karena kita memang harus mencari calon donor di daerah yang berskala ekonomi relatif rendah sehingga probabilitas mendapatkan calon donor menjadi  lebih mudah. Kedua, karena sebaiknya donor - akseptor tidak berhubungan, domisili keduanya dibuat sejauh mungkin dan kalau bisa tidak saling mengenal. Ini untuk menghindari adanya rongrongan di kemudian hari dari pihak donor karena transaksi jual-beli ginjal ini tetap saja illegal dari kacamata hukum kita.

Beberapa waktu yang lalu, salah satu teman saya melakukan cangkok ginjal di Mount Elizabeth Hospital, Singapore. Donornya dari Indonesia, kalau tidak salah seorang petani di daerah seputaran Serang. Karena atas biaya kantor, maka yang mencari donor ginjalnya adalah tim kesehatan yang dibentuk oleh kantor teman saya tersebut. Pokoknya, sang Pasien,  teman saya tersebut tinggal terima beres. Negosiasi harga, penandatanganan kontrak hingga pembayaran ditangani oleh Tim Kesehatan tersebut. Si Pasien sudah diproteksi sehingga donor - akseptor tidak saling mengenal dan tidak pernah saling bertemu. Operasi berjalan sukses demikian pula dengan kondisi post-operation. Sekitar 6 bulan kemudian, rumah teman saya tsb kedatangan keluarga sang donor, tidak ada yg tahu bagaimana mereka bisa memiliki data-data sang akseptor. Intinya, mereka minta duit karena sang donor sedang sakit. Sejak saat itu teman saya dirongrong terus menerus. Kejadian seperti ini sudah sering terjadi jika membeli ginjal di Indonesia. Oleh karena itu, mendapat donor ginjal dari jalur keluarga (keluarga jauh tidak masalah) tetap menjadi opsi yang terbaik. 

Hebatnya, dengan segala kerepotan dalam mencari donor, dalam setahun terakhir ini jumlah operasi cangkok ginjal di Indonesia semakin meningkat. Di RSCM, pelaksanaan operasi cangkok ginjal sekitar 2 kali dalam seminggu. Saya tidak tahu mengapa, mungkin karena operasi di China semakin mahal, sehingga pilihan cangkok di dalam negeri menjadi lebih menarik. Yang pasti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah sampai saat ini belum berubah. Biaya operasi cangkok ginjal di dalam negeri berkisar 200 - 300 juta diluar biaya mendapatkan donor. Selain RSCM, rumah sakit yg biasa melakukan operasi cangkok ginjal a.l.: RS Cikini, RSPAD, RS Kariadi Semarang, RS Darmo Surabaya.

Gagal Ginjal Terminal/Kronis

Jika dokter sudah memvonis dengan Gagal Ginjal Terminal, maka hanya ada 4 kemungkinan yang harus kita lakukan. Keempat opsi tindakan itu bukanlah tindakan penyembuhan tetapi tindakan terapi untuk menggantikan fungsi ginjal. Mengapa demikian? Karena ginjal adalah organ tubuh manusia yang tidak mempunyai daya regenerasi artinya sel-sel ginjal tidak dapat tumbuh kembali. Motto ginjal sangat sederhana: "sekali rusak tetap rusak". Informasi ini yang sering tidak dikomunikasikan dengan baik oleh para dokter. Banyak pasien GGT yang selalu berharap sembuh, sehingga akhirnya frustrasi karena terapi yang dilakukan tidak pernah berakhir.

Berikut ini adalah 4 kemungkinan tindakan terapi yang biasa dilakukan oleh pasien GGT. Namun satu hal yang harus dipahami bahwa semua opsi ini mempunyai kesamaan, yaitu MAHAL, yang bisa memiskinkan si pasien. Opsi yang pertama tentu saja cuci darah atau haemodialysis. Fungsi mesin cuci darah adalah menggantikan fungsi ginjal untuk membuang racun di dalam darah (kreatinin dan ureum) serta membuang cairan yang seharusnya menjadi urine tetapi terserap didalam jaringan tubuh kita. Opsi ini adalah yang paling umum dan sering dilakukan oleh pasien GGT. Idealnya pasien GGT harus melakukan terapi cuci darah selama 10 - 12 jam seminggu. Karena alasan ekonomis dan efektifitas pengoperasian mesin cuci darah, maka cuci darah akan dilakukan selama 4 jam per terapi dengan frekuensi 3 kali seminggu. Jika frekuensi terapinya hanya 2 kali seminggu maka proses cuci darah akan dilakukan selama 5 jam per terapi.

Lalu siapa yang menentukan frekuensi terapinya? Badan kita dan DOMPET kita sendiri. Kalau setelah cuci darah badan kita masih bengkak, kulit gatal-gatal, itu berarti frekuensi cuci darah harus ditambah.  Biasanya dokter akan menanyakan volume urine yang keluar. Jika masih ada urine yang bisa dikeluarkan, maka frekuensinya bisa dibuat 2 x seminggu. Namun jika pasien sudah tidak memproduksi urine sama sekali, maka mau tidak mau harus 3 x seminggu. Tetapi yang paling menentukan adalah isi DOMPET kita. Walaupun badan membutuhkan, kalau kondisi keuangan tidak memungkinkan, maka banyak pasien cuci darah yang terpaksa tidak memenuhi jadwal terapi. Berbahayakah bagi si pasien? Ya, tentu saja dalam jangka panjang akan berbahaya terhadap jantung, tekanan darah, kemampuan berpikir (karena otak tidak cukup mendapat O2 karena darah penuh dgn kreatinin), dan kualitas hidup (sesak napas, susah tidur, gatal-gatal). Jika pasien harus menurunkan frekuensi cuci darah, entah karena alasan apapun, maka asupan cairan harus sangat dikurangi. Hal ini untuk mengurangi kemungkinan sesak napas. Dengan kondisi urine yang sudah tidak dapat dikeluarkan, maka konsumsi cairan 5% lebih besar dari Berat Badan Kering maka dikhawatirkan cairan yang masuk akan memenuhi tubuh hingga merendam paru-paru kita. Berat Badan Kering adalah berat badan ideal pasien setelah semua cairan dikeluarkan oleh mesin cuci darah.

Biaya cuci darah bervariasi dari sekitar 450 ribu hingga 1 juta rupiah. Biaya ini belum termasuk obat-obatan, vitamin, transfusi darah atau suntikan EPO. Secara total pasien cuci darah menghabiskan dana sekitar 10 - 15 juta per bulan. Variasi biaya itu sangat ditentukan oleh luas penampang tubuh kita yang menentukan ukuran dialiser yang diperlukan. Dialiser adalah filter berbentuk tabung pada mesin cuci darah untuk menggantikan fungsi glomerulus dalam menyaring racun dan kotoran di dalam darah. Orang bertubuh kecil bisa menggunakan dialiser berukuran terkecil dengan biaya sekitar 450 ribu rupiah. Kalau tubuh kita relatif besar maka kita bisa menggunakan ukuran medium atau mungkin yang terbesar. Kalau ukuran dialiser yang digunakan lebih kecil dari ukuran ideal, maka hasilnya badan akan tetap gatal-gatal karena ureum tidak terbuang maksimal. Biasanya pada program cuci darah gratis, maka semua dialiser yang digunakan berukuran kecil. Demikian juga pada awal terapi cuci darah dilakukan, biasanya dokter akan menggunakan dialiser kecil atau sedang agar pasien tidak kaget dengan biaya yang harus dikeluarkan. Seiring dengan berjalannya waktu dan pemahaman, dokter akan menyarankan untuk melakukan penyesuaian ukuran dialiser.

Terapi cuci darah bukanlah pilihan terbaik, sebab untuk jangka waktu yang lama akan beresiko pada terjadinya pembengkakan jantung. Sebagai ilustrasi, coba bayangkan ada 2 buah pompa Sanyo yang dihubungkan pada pembuluh darah kita. Pompa pertama untuk menyedot darah untuk kemudian diproses dan dibersihkan. Setelah itu pompa kedua akan memompakan darah yang sudah bersih kembali ke dalam tubuh kita. Kondisi seperti itulah yang dihadapi oleh jantung kita setiap kali cuci darah dilakukan.

Opsi kedua adalah terapi CAPD atau Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis. CAPD adalah teknik penyerapan racun dari dalam darah dengan memanfaatkan lapisan peritonium di dalam rongga perut kita. Sebagai persiapan maka perut kita akan dioperasi dan dipasangi selang kateter. Selanjutnya cairan pembersih (dialisat) dipindahkan dari kantong CAPD ke dalam perut melalui selang kateter. Melalui proses osmosa dan difusi maka cairan dialisat akan langsung menyerap racun dan kotoran dari dalam darah. Setelah 4 - 6 jam di dalam perut maka cairan dialisat yang sudah menyerap racun tersebut dikeluarkan kembali melalui selang kateter untuk kemudian diganti dengan cairan dialisat yang baru. Demikian dilakukan berulang, biasanya 3-4 kali dalam sehari atau mungkin lebih tergantung dari asupan makanan dan minuman yang kita konsumsi.

Dibandingkan dengan terapi cuci darah, maka terapi CAPD tidak beresiko terhadap jantung. Aktivitas si Pasien juga tidak banyak terganggu karena penggantian cairan dialisat dapat dilakukan dimana saja asalkan steril. Konsumsi makan dan minuman relatif lebih bebas dibandingkan jika menggunakan terapi cuci darah. Dari segi biaya, CAPD jauh lebih murah dibandingkan terapi cuci darah. Kasus yang paling sering terjadi pada terapi CAPD adalah infeksi pada kateter sementara biaya operasi pemasangan kateter (baru atau ulang) relatif masih mahal, sekitar 25 juta rupiah.

Opsi ketiga adalah terapi APD (Automated Peritoneal Dialysis) atau bisanya disebut juga sebagai CCPD (Continuous Cyclic Peritoneal Dialysis). Prinsip terapi APD ini sama dengan CAPD, hanya pemasukan dan pengeluaran cairan dialisat menggunakan mesin khusus. Seperti pada CAPD, perut pasien harus dipasangi kateter terlebih dahulu. Selanjutnya pasien harus membeli mesin. Pengoperasiannya bisa dilakukan pada saat tidur malam. Jenis terapi APD ini masih jarang dilakukan di Indonesia karena membutuhkan investasi mesin yang relatif masih mahal.

Opsi terakhir adalah cangkok atau transplantasi ginjal. Karena terapi cuci darah sangat beresiko terhadap jantung, maka dokter tidak pernah menyarankan terapi cuci darah sebagai terapi permanen. Biasanya dokter akan menyarankan untuk segera mencari donor agar transplantasi dapat segera dilakukan. Kalau dhitung-hitung, maka biaya transplantasi ginjal kurang lebih sama dengan biaya cuci darah selama setahun.

Apakah Semua Masalah Beres Dengan Solusi Cangkok Ginjal?

Dengan tindakan pencangkokan ginjal tidak berarti semua masalah sudah selesai. Masalah berikutnya yang muncul adalah kemungkinan terjadinya penolakan oleh tubuh akseptor atas organ tubuh yang dicangkok dari luar itu. Mengapa terjadi penolakan? Karena tubuh akseptor tetap melihat ginjal cangkokan sebagai benda asing walaupun donor - akseptor sudah dianggap cocok (crossmatching) berdasarkan test darah. Setiap saat tubuh akseptor bisa melakukan penolakan dan jika itu terjadi maka itu berarti kiamat bagi si akseptor.

Pada saat tubuh merasa ada benda asing yang berada di sekitarnya, maka secara alamiah tubuh akan melakukan perlawanan. Hal ini terjadi karena tubuh kita dilengkapi dengan sebuah sistem imun yang sangat canggih dan kompleks. Dalam hal kita secara sengaja memasukkan benda asing seperti pada tindakan pencangkokan ginjal, maka sistem imun si akseptor harus ditekan serendah mungkin agar tidak melakukan perlawanan. Caranya adalah dengan meminum obat immunosuppressant atau anti-rejection setiap hari seumur hidupnya secara tepat waktu. Beberapa waktu yang lalu dilaporkan bahwa Dahlan Iskan kelupaan membawa obat anti-rejection tersebut pada saat hendak berangkat ke luar kota. Beliau langsung memundurkan waktu keberangkatannya untuk menunggu kiriman obat dari rumahnya.

Harga obat-obatan anti-rejection ini relatif mahal namun masih lebih murah dibanding jika harus melakukan cuci darah. Jika dalam waktu tertentu tubuh sudah dapat menerima organ cangkokan, maka dosis dan jenis obat-obatan anti-rejection ini dapat dikurangi tapi tidak berarti dihentikan sama sekali.

Karena sistem imun tubuh dilemahkan maka pasien cangkok ginjal sangat rentan untuk tertular penyakit. Biasanya 3 bulan pertama setelah operasi pencangkokan adalah masa yang sangat kritis. Tubuh sangat mudah mengalami infeksi. Secara bercanda dokter-dokter berkata bahwa operasi pencangkokan sudah seperti tindakan circumsisi (sunat), yang lebih krusial adalah menjaga kondisi post-operation. Sangat jarang terjadi kegagalan pada saat operasi pencangkokan, yang lebih sering terjadi adalah kegagalan setelah tindakan dilakukan. Mungkin kita masih ingat terinfeksinya almarhum Cak Nur dan Angky Camaro (Komisaris HM Sampoerna) pada masa recovery setelah operasi cangkok hati dan cangkok ginjal.

Biasanya ginjal cangkokan bisa beroperasi normal sekitar 5 - 10 tahun. Setelah itu fungsinya akan terdegradasi lagi sehingga mungkin kita harus kembali melakukan cuci darah atau transplantasi berikutnya. Kecepatan degradasi fungsi ginjal cangkokan itu sangat bergantung pada penyakit penyebab kerusakan ginjal pada pasien bersangkutan serta gaya hidupnya. Beberapa penyakit dan kebiasaan yang dapat merusak ginjal a.l: diabetes, hipertensi, batu ginjal kronis, infeksi saluran/kandung kemih, mengkonsumsi obat-obatan berlebih, auto-immune (Lupus, IgA-Nephrophaty), kista pada ginjal.

Salam,

Indra Djohari EL-83

--------------------------------

Keterangan video:

Published on Jan 23, 2014

Purtier Placenta adalah terapi sel hidup yang mengandung stem cell hidup dari plasenta rusa. 

Terbukti mampu sebuhkan penyakit berbahaya, seperti kanker, stroke, diabetes, jantung, gagal ginjal, alzheimer, parkinson, AIDS, dll. 

Purtier mengandung bahan baku penunjang peremajaan yang lain untuk melindungi, memperbaiki dan meremajakan kembali jaringan--jaringan dan organ tubuh untuk menjaga seseorang tetap "muda".