Didi Apriadi menjadi Wirausaha Software
Jumat, 15 Maret 2013
Gagal bercita-cita menjadi pilot tidak membuat Didi Apriadi patah arang. Dia akhirnya menemukan tambatan hatinya di dunia TI. Kegagalannya "naik pesawat" dibayar lunas dengan kepergiannya naik haji. Berikut kisah hidupnya yang diceritakan secara santai.
Saya dilahirkan di Tanjung Pandan, sebuah daerah kecil di Pulau Belitung, pada 22 April 1969. Saya merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Ayah saya seorang pegawai negeri yang kerap berpindah tempat tinggal sesuai dengan panggilan dinas sehingga saya terpaksa harus berpindah-pindah sekolah, mulai dari Tanjung Pandan, Jakarta hingga Palembang.
Keberadaan saya yang seperti nomad itu membuat saya sejak kecil terbiasa beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang baru. Hal ini membuat saya saat ini dapat dengan mudah masuk ke komunitas baru.
Waktu kecil, saya mempunyai cita-cita menjadi pilot. Ayah saya memang tidak menentukan saya akan jadi apa, asal selalu menjadi yang terbaik. Untuk mengejar cita-cita menjadi pilot, selepas SMA tahun 1988, saya mencoba mengikuti tes masuk AKABRI, tetapi apa boleh buat ternyata tidak lulus.
Gagal menjadi pilot, saya ingin sekali masuk ITB dan kemudian ikut UMPTN, tetapi apa hendak dikata, saat itu saya juga tidak lulus. Akhirnya, pada tahun yang sama, saya kuliah di jurusan arsitektur Universitas Parahyangan Bandung, walau hanya sampai jenjang sarjana muda. Karena saya ingin yang terbaik, maka tahun berikutnya saya ikut UMPTN lagi dan masuk ITB jurusan engineering.
Ide untuk menjadi entrepreneur sebenarnya baru muncul ketika saya kuliah di ITB, apalagi pada saat itu saya aktif di koperasi. Saya malah sempat membentuk CSED (center of student entrepreneurship development) pada 1994. Dalam hal ini, kami membentuk kelompok untuk mengembangkan semangat kewirausahaan pada rekan-rekan mahasiswa.
Bersama beberapa rekan di koperasi mahasiswa, mulai tingkat dua saya sudah mencoba menjalankan bisnis, tetapi tidak semuanya di TI. Saya sempat mencoba mengekspor teh, tetapi hanya bertahan selama dua bulan.
Pada saat di kampus ITB pulalah baru terpikir oleh saya untuk masuk ke dunia TI. Bagi saya, masa depan dunia TI di Indonesia cukup baik--jika belum bisa dikatakan sangat baik.
Saya memilih dunia TI sebagai ladang mencari nafkah bukan hanya karena masa depannya yang bagus, melainkan juga karena sesuai dengan hobi saya. Dengan menekuni pekerjaan yang digemari, seseorang tidak akan merasa tertekan dan enjoy dengan apa yang dilakukannya. Dengan demikian orang itu bisa sukses. Contohnya Stefie Graff yang bisa sukses dalam bertenis karena dia juga hobi main tenis. Selain hobi, seseorang yang ingin sukses juga harus memiliki kemampuan. Hal yang tak kalah penting, dia punya kesempatan yang datang sendiri atau dia ciptakan.
Selepas kuliah di ITB tahun 1994, saya ikut mendirikan PT Kreta Visual Dinamika yang bergerak di bidang advertising dan multimedia dan sampai saat ini masih menjadi komisaris di sana.
Kemudian saya pun mendirikan beberapa perusahaan PT Optima Infocitra Universal yang bergerak di bidang e-solution provider, PT Elga Yasa Media (ISP), Ebzoom.com (community portal), PT Optima Digital Comindo (pengembang perangkat lunak), dan PT Matriksindo (accounting software solution).
Mendirikan Optima
PT Optima Infocitra Universal didirikan pada Mei 1995 oleh tujuh orang yang semuanya lulusan ITB. Proyek pertama kami adalah proyek PDAM Bandung. Dahulu kami mengambil kesempatan yang ada sampai-sampai kurang terfokus, tetapi sekarang Optima berfokus di empat bidang: pertama, e-government, kedua, e- hospital, ketiga oil, gas, energy, transportation and distribution, dan terakhir cross industry yang di dalamnya termasuk e-finance.
Pada saat kami sudah tidak kuat menanggung biaya operasional Optima, kami mendapatkan pemodal dari Sarana Jabar Ventura (SJV) dan dua investor asing, yaitu Aiti Investment (Korea Selatan) dan Dinamic Venture Capital (Hong Kong). Ada satu lagi perusahaan Korea yang akan masuk ke Optima yaitu ICM, yang sudah listing di bursa Korea Selatan.
Dari perusahaan-perusahaan yang saya dirikan tersebut, yang saya jadikan fokus adalah Optima karena kebetulan, pada saat didirikan, saya yang memiliki mayoritas sahamnya yaitu 65%. Selain itu, saya melihat peluang Optima untuk maju lebih besar dibandingkan dengan yang lain. Buktinya, pada saat didirikan, modal awalnya hanya Rp50 juta, sekarang sudah mempunyai omzet sampai Rp24 miliar. Saat ini saya hanya memiliki saham di bawah 50% karena kami membagi saham kami dengan SJV dan dua investor asing.
Beberapa tahun menjalankan Optima, yaitu pada 1998, saat banyak perusahaan asing yang cabut dari Indonesia, kami mendapatkan tender dari Caltex dengan penawaran yang tidak begitu tinggi. Mungkin pada saat itu Optima dilihat sebagai perusahaan lokal yang memiliki komitmen, di samping harga yang kami patok tidak begitu tinggi yaitu sekitar US$300.000.
Saya rasa, proyek Caltex ini merupakan awal baru bagi kami karena setelah itu perusahaan kami banyak mendapat tawaran yang cukup besar dengan referensi Caltex itu.
Saya tertarik menangani e-government karena, pertama, saya melihat peluang untuk TI di Indonesia itu banyak, tetapi e- government kita seperti kurang digarap. Jadi, pertama saya ingin membantu mengembangkan TI di Indonesia. Kedua, memang di situ ada juga profit yang bisa diambil. Selain itu, saya juga melihat yang bermain di e-government itu masih sedikit sehingga peluangnya masih terbuka.
Menurut saya, e-government yang baik syaratnya ada dua. Pertama, standardisasi dan kedua kontinuitas. Kita tidak mungkin bisa membuat e-government yang komprehensif kalau tidak ada standar yang baku. Jadi, seharusnya ada blue print dari pemerintah. Saya mengusulkan agar pihak pemerintah, swasta, dan pihak yang akan mengerjakan e-government dan perguruan tinggi menciptakan standardisasi. Kemudian harus melaksanakannya dengan kontinu dan konsisten.
Sebagaimana kebanyakan perusahaan lain, Optima juga ingin menempatkan diri sebagai perusahaan publik. Target kami sebenarnya tahun ini, tetapi karena ada sesuatu hal kami undur. Yang saya lihat, berjatuhannya perusahaan yang berbasis TI-- terutama perusahaan dotcom--yang go public karena mereka lebih condong untuk mencari dana segar di lantai bursa, sehingga terkadang ada kesan proses listing-nya dipaksakan. Dengan demikian, kemungkinan untuk jatuh cukup besar.
Saya berpendapat, jika suatu saat Optima dapat bermain di lantai bursa, maka Optima lebih cenderung mencari pengakuan pasar. Untuk itu, saham yang dilepas pun tidak perlu terlalu banyak, paling-paling hanya 10%.
Saya melihat pasar TI kita seperti gunung es. Ujungnya kelihatan kecil, padahal di bawahnya besar. Pasar di bawah itulah yang harus sama-sama kita gali. Untuk menggali pasar itu diperlukan idealisme yang cukup tinggi. Saat ini idealisme dan entrepreneurship saya sama-sama terpenuhi. Saya aktif di BHTV (Bandung Hi-tech Valley) dan Mastel itu untuk idealis saya, sedangkan untuk urusan bisnis, saya di Optima. Khusus di BHTV, kami mencoba menggali pasar yang terpendam itu.
Optima saat ini berpusat di Bandung dan memiliki kantor representatif di Jakarta, sehingga saya terpaksa harus bolak- balik Jakarta-Bandung setiap minggunya. Di Jakarta saya tinggal dengan mertua saya. Dari hasil pernikahan saya, saat ini saya telah mempunyai seorang putri.
Kesibukan yang banyak menyita waktu mungkin terasa agak mengganggu hobi saya seperti joging dan main catur. Bahkan dahulu saya sering menjadi juara catur. Selain olahraga, saya juga suka melukis di atas kanvas. Pada suatu saat nanti, saya ingin bisa membuat pameran lukisan yang bertema TI.
Saya Mengidolakan Bung Karno
Besarnya arus keluar masuk pegawai di perusahaannya memberikan satu pelajaran buat Didi untuk lebih berhati-hati menjaga salah satu asetnya itu. Dengan Bung Karno sebagai tokoh idolanya, ia berusaha menjadi pemimpin yang jago berdiplomasi, jago mengelola perusahaan sekaligus juga dekat dengan stafnya. Berikut petikan wawancaranya dengan D. Rusdianto Erawan dari Warta Ekonomi.
Warta Ekonomi: Apa prestasi Anda yang paling membanggakan?
Saya kira belum ada. Mungkin karena saya tipe orang yang perfeksionis dan tidak mudah puas.
Kalau hal yang paling mengecewakan?
Kalau software buatan kami tidak terpakai. Kadang kala kami sudah bikin, tetapi akhirnya tidak terpakai dengan alasan nonteknis.
Apa yang Anda anggap lebih dan kurang pada diri Anda?
Saya kira, kelebihan seseorang harus dilihat oleh orang lain. Kalau dilihat oleh diri sendiri akan kurang objektif. Kalau kekurangan saya, bisa dibilang saya ini perfeksionis sehingga akhirnya jadi kurang fleksibel.
Pernahkah Anda merasa melakukan keputusan yang paling baik?
Pada waktu saya memutuskan untuk terjun di TI dibandingkan dengan menjadi pilot atau pegawai negeri.
Bagaimana dengan yang terburuk?
Saya rasa tidak ada keputusan yang buruk karena semua itu bagian dari proses dan pengalaman. Jika memang hasilnya buruk, ya merupakan pengalaman.
Apakah Anda mempunyai pengalaman yang tak terlupakan?
Mungkin ketika saya naik haji tahun 1997, saat itu cukup menyentuh. Dengan titel haji yang saya sandang, saya merasa harus lebih berhati-hati berbuat sehingga tidak bertindak hal yang buruk bagi orang lain.
Bagaimana perlakuan Anda terhadap karyawan?
Di Optima, arus keluar-masuk pegawai itu cukup tinggi karena mungkin mereka belum benar-benar hobi atau sekadar cari pengalaman sampai-sampai ada yang membuat istilah "Ikatan Alumni Optima". Kami punya sekitar 50 karyawan tetap dan sekitar 250 pegawai yang kami pakai jika ada proyek. Yang 50 orang itu sangat saya jaga benar karena mereka adalah aset.
Kalau Anda dapat pindah ke dimensi lain, kira-kira mau menjadi apa?
Saya tetap ingin menjadi Didi Apriadi, tetapi saya berharap kondisi TI di Indonesia sudah mapan seperti di Amerika Serikat.
Untuk tokoh idolanya?
Idola saya Soekarno. Saya melihat visinya ke depan, bagaimana cara hidupnya, bagaimana dia dikagumi banyak orang, kemudian bagaimana cara dia menyatukan Indonesia.
Bisa dikatakan dia mewakili tiga orang. Jago untuk diplomasi ke luar, bisa untuk mengolah negara, dan dekat dengan rakyat.
Sampai saat ini, adakah cita-cita Anda yang belum tercapai?
Saya ingin membuat Optima menjadi salah satu perusahaan TI yang berkelas dunia.
Saya Mengidolakan Bung Karno
Besarnya arus keluar masuk pegawai di perusahaannya memberikan satu pelajaran buat Didi untuk lebih berhati-hati menjaga salah satu asetnya itu. Dengan Bung Karno sebagai tokoh idolanya, ia berusaha menjadi pemimpin yang jago berdiplomasi, jago mengelola perusahaan sekaligus juga dekat dengan stafnya. Berikut petikan wawancaranya dengan D. Rusdianto Erawan dari Warta Ekonomi.
Warta Ekonomi: Apa prestasi Anda yang paling membanggakan?
Saya kira belum ada. Mungkin karena saya tipe orang yang perfeksionis dan tidak mudah puas.
Kalau hal yang paling mengecewakan?
Kalau software buatan kami tidak terpakai. Kadang kala kami sudah bikin, tetapi akhirnya tidak terpakai dengan alasan nonteknis.
Apa yang Anda anggap lebih dan kurang pada diri Anda?
Saya kira, kelebihan seseorang harus dilihat oleh orang lain. Kalau dilihat oleh diri sendiri akan kurang objektif. Kalau kekurangan saya, bisa dibilang saya ini perfeksionis sehingga akhirnya jadi kurang fleksibel.
Pernahkah Anda merasa melakukan keputusan yang paling baik?
Pada waktu saya memutuskan untuk terjun di TI dibandingkan dengan menjadi pilot atau pegawai negeri.
Bagaimana dengan yang terburuk?
Saya rasa tidak ada keputusan yang buruk karena semua itu bagian dari proses dan pengalaman. Jika memang hasilnya buruk, ya merupakan pengalaman.
Apakah Anda mempunyai pengalaman yang tak terlupakan?
Mungkin ketika saya naik haji tahun 1997, saat itu cukup menyentuh. Dengan titel haji yang saya sandang, saya merasa harus lebih berhati-hati berbuat sehingga tidak bertindak hal yang buruk bagi orang lain.
Bagaimana perlakuan Anda terhadap karyawan?
Di Optima, arus keluar-masuk pegawai itu cukup tinggi karena mungkin mereka belum benar-benar hobi atau sekadar cari pengalaman sampai-sampai ada yang membuat istilah "Ikatan Alumni Optima". Kami punya sekitar 50 karyawan tetap dan sekitar 250 pegawai yang kami pakai jika ada proyek. Yang 50 orang itu sangat saya jaga benar karena mereka adalah aset.
Kalau Anda dapat pindah ke dimensi lain, kira-kira mau menjadi apa?
Saya tetap ingin menjadi Didi Apriadi, tetapi saya berharap kondisi TI di Indonesia sudah mapan seperti di Amerika Serikat.
Untuk tokoh idolanya?
Idola saya Soekarno. Saya melihat visinya ke depan, bagaimana cara hidupnya, bagaimana dia dikagumi banyak orang, kemudian bagaimana cara dia menyatukan Indonesia.
Bisa dikatakan dia mewakili tiga orang. Jago untuk diplomasi ke luar, bisa untuk mengolah negara, dan dekat dengan rakyat.
Sampai saat ini, adakah cita-cita Anda yang belum tercapai?
Saya ingin membuat Optima menjadi salah satu perusahaan TI yang berkelas dunia.
0 comments:
Posting Komentar