Sikap mental negara Korea
Minggu, 09 Februari 2014
Desa dimiliki oleh orang kota; kota dimiliki orang desa.
Petani mencari kerja di kota; orang kota mencari kekayaan di desa.
(Franky Sahilatua)
Petani mencari kerja di kota; orang kota mencari kekayaan di desa.
(Franky Sahilatua)
Januari 2006 lalu saya terbang ke tanah air dengan Korean Air. Sejenak transit di Incheon memutar memori saya empat tahun lalu ketika berkunjung ke Korea Selatan. Korsel tak lama lagi akan menandingi Jepang. Lihat saja Hyundai yang kini termasuk 5 besar dunia. Ada konsep menarik dari kisah sukses Korsel tersebut, yakni Saemaul Undong (SU). Singkatnya, SU merupakan gerakan pembaruan masyarakat desa yang dicanangkan Presiden Park Chung Hee pada tahun 1970-an dengan tujuan awalnya meningkatkan pendapatan petani dan nelayan di desa. Ini merupakan langkah penting untuk menciptakan keseimbangan antara pertumbuhan dan pemerataan. Ini bisa dipahami karena sejak memegang kekuasaan pada tahun 1961, Park Chung Hee langsung menggenjot pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan industri berat.
Hasilnya memang spektakuler, yakni kota menjadi tumbuh pesat dan GNP perkapita melonjak dari $ 85 pada tahun 1960 menjadi $ 257 pada tahun 1970. Namun, di sisi lain problemnya adalah tertinggalnya masyarakat desa, khususnya kaum petani. Sehingga, kenyataan inilah yang menyadarkan Park Chung Hee bahwa ada sesuatu yang salah dalam strategi pembangunannya, dan lalu segera dicanangkanlah suatu gerakan Saemaul Undong.
Dalam implementasinya, sebagai langkah awal SU benar-benar menekankan reformasi sikap mental. Pertama-tama, masyarakat Korea didorong untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat. Ada fenomena yang menarik bahwa salah satu langkah untuk membangun kepercayaan diri tersebut adalah melalui rehabilitasi rumah-rumah penduduk desa dari yang beratapkan rumbia menjadi beratap genting.
Selanjutnya sikap mental percaya diri tersebut diikuti dengan “tiga spirit utama” gerakan SU, yaitu rajin (dilligent), mandiri (selp help), dan gotong royong (cooperation). Tiga spirit tersebut menjadi pegangan pokok bagi setiap masyarakat Korsel, tidak hanya di desa tetapi di kota. Dan, untuk itu pendidikan masyarakat baik formal maupun non formal digenjot. Pendidikan inilah menjadi salah satu pilar bagi gerakan SU khususnya untuk transformasi sikap mental.
Ketika desa sudah tumbuh, upaya kontekstualisasi spirit SU bagi masyarakat kota pun dikembangkan. Kalau di desa gerakannya dimulai dari peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani melalui perbaikan teknologi, pembangunan fasilitas desa, dan rumah-rumah penduduk, di kota diarahkan pada keharmonisan kehidupan industrial (pemodal-buruh), penguatan hubungan ketetanggaan, gerakan hemat energi, dan cinta lingkungan. Juga, orang kota didorong untuk mendukung SU di pedesaan. Ini bisa dilakukan karena adanya transformasi sikap mental orang kota; dari individual menjadi kooperatif.
Inti semua itu mengisyaratkan bahwa proses ke arah kemajuan harus dilakukan secara bersama-sama; antara orang desa dengan orang kota, antara petani dengan pengusaha industri, antara pemodal dengan buruh, dan antara pemerintah dengan rakyat.
Tentu, dengan segenap pengorbanan semua pihak. Jangan seperti sekarang ini, hubungan desa-kota di kota bersifat asimetris. Orang kota lebih banyak menarik keuntungan dari desa, dari pada orang desa menarik keuntungan dari orang kota. Akibatnya ketimpangan desa-kota menjadi makin tajam, dan kota serta industri tumbuh tanpa basis pedesaan yang kuat. Dan, pada akhirnya hanya orang kota yang “tinggal landas” sementara orang desa hanya “tinggal di landasan” bahkan “tinggal menjadi landasan”.
Sumber: www.kamusilmiah.com
0 comments:
Posting Komentar