Di sepertiga malam terahir setelah kelelahan berdiskusi, akhirnya empat sekawan menuju kamarnya masing-masing dalam kantuk yang tak tertahankan.
Fuad masuk ke dalam kamarnya dengan langkah gontai, menyingkap karpet di bawah lemari plastiknya dan mengambil sebuah bendel lembaran kertas yang sebagian sudah berwarna kuning karena lembab. Dibukanya kembali lembar demi lembar kertas itu yang merupakan ringkasan kejadian tahun 1978, saat ITB diduduki tentara. Walau di mulutnya dia mengatakan kapok untuk berpolitik praktis, jauh di lubuk hatinya ada ketidakrelaan yang dalam bahwa gerakan mahasiswa ITB akhirnya kembali mengulangi kegagalan yang sama.
Pendudukan Kampus ITB oleh Tentara Pada Tahun 1978
Disarikan dari catatan harian mahasiswa ITB angkatan 1977
(Delima Kiswanti, Irwan Natarahardja, Saifi Rosad, Dana Pamilih, Dewi Utami, Arya Rezavidi, Karlina Supeli, Roy Djajanegara, Agus Purnomo, Husein Akil, Halim Mangunjudo, Didi Haryadi, Didit Widiatmoko)
Para mahasiswa ITB di tahun 1978 telah melihat bahwa pemerintahan Presiden Soeharto sudah mulai keluar dari idealisme membangun sebuah bangsa dan negara yang baik dan benar. Karena media massa saat itu sangat dikontrol oleh pemerintah dan DPR tidak bisa mengutarakan pendapat, maka mahasiswalah yang akhirnya mengambil alih peran memperjuangkan kepentingan rakyat dan berusaha mengembalikan pengelolaan negara pada alur yang benar.
Dengan bersatu-padu, seluruh mahasiswa ITB saat itu melakukan berbagai kegiatan untuk mengkoreksi Presiden Soeharto melalui berbagai gerakan moral seperti menerbitkan buku putih yang berisikan data-data kajian dan pemikiran untuk perbaikan bangsa, demonstrasi dengan orasi-orasinya, happening art dan berbagai bentuk lainnya. Namun gerakan moral ini akhirnya digebuk dengan kekerasan melalui operasi pendudukan kampus ITB oleh tentara. Para tokoh mahasiswanya yaitu Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Tjahjono, Irzadi Mirwan (alm), Al Hilal Hamdi, Ramles Manampang, Jusman Syafei Djamal, Joseph Manurung, Kemal Taruc dan banyak lagi yang lainnya dipenjara di tahanan Cimahi.
Tentara menduduki kampus ITB dua kali.
Pendudukan yang pertama terjadi pada bulan Januari 1978. Tengah malam sebelum pendudukan berlangsung, crew radio 8EH ITB-radio milik ITB saat itu dan anggota resimen mahasiswa ITB, Mahawarman, memberitahu kepada beberapa mahasiswa bahwa menjelang subuh, kampus ITB akan diduduki oleh tentara akibat demo dan protes yang dilakukan oleh mahasiswa ITB yang sudah dianggap keluar batas oleh Presiden Soeharto dan aparatnya. Pada pukul 02.00 dini hari, aliran listrik di kampus dipadamkan oleh PLN. Kampus begitu gelap gulita. Hitam pekat menyelimuti. Bersamaan dengan padamnya listrik di seluruh penjuru kampus, seluruh mahasiswa telah siap berjaga di sekeliling kampus Ganesha. Para mahasiswa yang memiliki motor memarkir motornya di jalan Ganesha dengan menghadapkan motor ke arah jalan raya. Degup jantung di setiap dada mahasiswa bertalu-talu begitu kerasnya. Harap-harap cemas, menanti sebuah hari pengadilan jalanan yang akan segera mereka terima. Jarum jam berdetak sangat lambat. Temaram fajar memantulkan bias cahaya samar-samar, bayangan-bayangan hitam berkelebat, bergerak perlahan mendekati kampus. Jam menunjukkan pukul 04.00, mata masih belum dapat terlalu jelas mengindikasikan siapa dan berapa pasukan yang datang menyatroni kampus mereka. Saat waktu menunjukkan pukul 05.00, dengan serentak seluruh lampu motor dinyalakan dan tampaklah bahwa di sekeliling pagar di seberang jalan raya telah berjajar barisan tentara dalam formasi siaga dengan senjata dan tameng-tameng penangkis.
Komandan Mahawarman ITB segera mengambil inisiatif, maju kedepan, menghadap komandan tentara dari Kodam Siliwangi dan meminta agar tentara masuk hanya dari pintu utama di jalan Ganesha dan hanya masuk kampus saat terang tanah, saat pagi telah tiba agar tidak menimbulkan kekacauan yang tak dapat dikendalikan. Tentara setuju.
Satu jam berlalu dalam diam, siap-siaga, penuh ketegangan. Begitu fajar menyingsing, sesuai perjanjian, pasukan tentara yang berbaris 8 jajar segera memasuki pintu gerbang kampus. Begitu tiba di pintu gerbang kampus yang berjarak 20 meter dari jalan Ganesha, para mahasiswa senior dan tokoh-tokoh Dewan Mahasiswa berusaha menghentikan derap maju pasukan tersebut. Pasukan mendesak ingin menguasai kampus. Seluruh mahasiswa langsung mengambil inisiatif dengan melakukan aksi duduk dengan mengatur formasi mahasiswi ada di barisan depan, dengan harapan para tentara tidak akan berlaku semena-mena. Seluruh mahasiswa menyanyikan lagu Indonesia Raya. Di akhir lagu, beberapa tentara menurunkan tameng dan senjata sambil menitikkan air mata. Pada akhir lagu para mahasiswa memekikkan “merdeka!” yang disambut teriakan tentara dengan pekikan yang sama”merdeka!”. Tiga puluh tiga tahun Indonesia telah merdeka, tetapi siapa yang merdeka?
Tentara diliputi keraguan dan rasa welas asih sebagai sesama bangsa Indonesia. Pasukan tidak meneruskan desakan untuk maju. Pada pukul 07.00, rektor ITB, almarhum Prof. Iskandar Alisyahbana datang ke kampus dan memberi orasi yang intinya melarang mahasiswa melawan tentara dengan kekerasan tapi dengan kekuatan moral. Kesepakatan dicapai antara tentara dan mahasiswa yaitu bahwa tentara tidak akan menyebar ke seluruh penjuru kampus dan tidak akan menduduki kampus, dan mahasiswa diminta berkumpul di lapangan sepak bola yang terletak di tengah-tengah kampus.
Pada siang harinya di hari yang sama, akhirnya tentara menyebar dan menduduki kampus tetapi tidak menguasainya karena mahasiswa tetap berada di dalam kampus walaupun telah dicoba diusir berkali-kali oleh tentara. Para mahasiswa senior menginstruksikan agar kampus jangan sampai dikosongkan, karena inilah rumah mereka, inilah kedaulatan mereka. Para mahasiswa berkomitmen tidak akan menyerahkan kampus dan akan tetap berada di tempat siang-malam siap menerima segala kemungkinan dan risiko apapun. Mahasiswa menginap di dalam kampus, tak beranjak selama beberapa hari.
Malam hari pertama pendudukan, mahasiswa disuguhi tontonan gratis film “Cintaku di Kampus Biru” di studio Liga Film Mahasiswa, sumbangan dari Ikatan Orang tua Mahasiswa. Film yang diangkat dari novel karangan Ashadi Siregar itu mereka tonton, padahal justru belum beredar di pasaran.
Setelah beberapa hari pendudukan kampus ITB, pasukan Siliwangi ditarik ke barak. Pasukan Siliwangi dengan Panglima Kodamnya saat itu Mayor Jendral Himawan Soetanto dianggap terlalu lunak kepada gerakan mahasiswa ITB.
Pada tanggal 9 Februari 1978, tentara kembali menduduki kampus ITB. Pada pendudukan kampus yang ke 2 ini, pasukan yang dikirim bukan dari Kodam Siliwangi tetapi dari Kodam Brawijaya yang baru selesai menjalankan tugas dari Timor Timur. Berbeda dengan pasukan dari Kodam Siliwangi yang santun, damai dan penuh persuasif, pasukan Kodam Brawijaya yang baru kembali dari medan perang Timor Timur ini begitu beringas. Berhadapan dengan mahasiswa mereka samakan berhadapan dengan tentara Fretilin yang bersenjata. Dengan ganas pasukan ini menarik dan menyeret mahasiswa, tak peduli laki atau perempuan, menjambak rambutnya, memukul para mahasiswa dengan popor senapan dan mengejar-ngejar mahasiswa yang lari tunggang langgang dengan bayonet terhunus. Para mahasiswa yang lari dengan menunggang sepeda motor dikejar dengan jeep tentara dan bagi yang naas akan langsung ditabrak dari belakang. Beberapa mahasiswa terluka, ada yang patah tangannya sehingga langsung dilarikan ke Rumah Sakit Boromeus yang bertetangga dengan kampus ITB, tak lebih dari 50 meter jauhnya.
Para tokoh Dewan Mahasiswa seperti Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Al Hilal Hamdi, Jusman Syafei Djamal, Indro Tjahjono dan Ramses Manampang akhirnya menjadi buron Pemerintah Soeharto, ditangkap aparat dan dipenjara. Dewan Mahasiswa domisioner karena ketuanya ditangkap, sehingga terpaksa dipimpin oleh presidium yang mengoperasikan organisasi dari luar kampus karena kampus diduduki tentara. Pamflet-pamflet protes terus disebarkan dengan kucing-kucingan saat fajar menjelang oleh para mahasiswa. Para mahasiswa militan itu melakukan operasi dengan diam-diam dengan berpindah-pindah tempat. Mencetak pamflet dengan mesin stensil yang digotong berpindah-pindah, menyebarkannya ke segenap penjuru jalan di Bandung sebelum fajar menyingsing. Namun akhirnya para penyebar pamflet ini tertangkap juga oleh tentara dan dipenjara di Cimahi berkumpul dengan para tokoh mahasiswa yang telah tertangkap lebih dahulu. Para mahasiswa dipenjara selama 35 hari di penjara Cimahi, bertetangga dengan para tahanan dari G30S PKI dan pemberontak DI/TII. Dewan mahasiswa ITB membentuk Komite Pembelaan Mahasiswa yang diketuai Wimbo dari Elektro dengan beberapa anggota seperti Didi Haryadi, Arie – Sipil, Zuhriati - Teknik Industri, Burhan – Astronomi, Hendardi – Sipil. Para tokoh mahasiswa ITB didukung dan dibela oleh Adnan Buyung Nasution, Harjono, Sukarjo dan Amartiwi Saleh. Kampus diliburkan satu semester karena pendudukan tentara tersebut.
Dalam tahanan di Cimahi tersebut para mahasiwa diinterogasi tentara dengan menunjukkan bukti foto dokumentasi yang begitu detail disertai bukti-bukti yang sangat lengkap, yang sudah pasti sumber dari semua itu berasal dari sebagian kecil teman-teman ITB sendiri yang saat teman-teman mereka masuk penjara dan sesudahnya nanti mereka akan mendapatkan kursi dan posisi empuk di pemerintahan Soeharto, menjadi anggota DPR atau pejabat pemerintah. Dan sudah pasti, saat mahasiswa berdemo, para pengkhianat gerakan mahasiswa itulah yang ikut berteriak sangat keras.
Fuad memandangi buku catatan itu dengan masygul. Sedih, perih, sesal, kesal, dan marah begitu menyesakkan dadanya. Pandangannya menerawang jauh ke depan. Di pelupuk matanya terbayang dengan jelas gambar-gambar bersejarah proses pendudukan kampus oleh tentara itu bagai melihat film layar lebar. “Sejarah Berulang!” gumamnya. Dia yang semula tak percaya akan isi paragraf terakhir dari bendel yang dibacanya itu dan bermaksud membuktikan bahwa paragraf terakhir itu hanyalah hypothesis sang penulis atau setidaknya cerminan rasa iri yang manusiawi, ternyata benar adanya. Aku sekarang mengalaminya, bukan lagi sebuah cerita. Indonesia dijajah begitu lama karena di tengah-tengah perjuangannya selalu ada pengkhiat dan para oportunis sejati.