Alhamdulillah, akhirnya Alm. Mr. Sjafruddin Prawiranegara dianugerahi gelar “Pahlawan Nasional” di istana negara, 8 Nopember kemarin, bersama 6 pahlawan lainnya. Penulis merasa lega karena pengusulan Mr. Sjafruddin ini tidak mudah, melalui jalan panjang berliku, namun tetap dalam koridor Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Almarhum menjadi pahlawan nasional ke-13 yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Para pahlawan nasional sebelumnya, yang diusulkan Jawa Barat yaitu : Prof.Dr. Mr. Kusumah Atmaja, Ir. H. Juanda, Laks R.E. Martadinata, R. Oto Iskandar di Nata, Rd. Dewi Sartika, KH Zaenal Mustofa, R. Iwa Kusuma Sumantri, R. Gatot Mangkupraja, R. Maskun Sumadireja, KH Noer Ali, R.M. Tirto Adi Soerjo, dan KH Abdul Halim. Dilihat dari jumlah pahlawan nasional yang dimiliki Indonesia saat ini (158) orang, jumlah 13 (tiga belas ) orang itu relatif sedikit.
Proses Pengusulan Mr. Sjafruddin Prawiranegara
Sejak tahun 2007, penulis selaku anggota Badan Pembina pahlawan Daerah (BPPD) Provinsi Jawa Barat, ditugasi Gubernur untuk memproses pengusulan Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai pahlawan nasional, di samping beberapa nama lain. Namun usulan Mr Sjafruddin ini ditolak oleh Pemerintah Pusat. Selanjutnya tahun 2009, usulan kembali dilayangkan ke Jakarta. Setelah lolos dari Badan Pembina Pahlawan Pusat, oleh Menteri Sosial diajukan ke Dewan Gelar. Namun pada titik akhir, ditolak lagi. Dalam surat yang ditandatangani Dirjen Pemberdayaan Sosial, disebutkan bahwa Mr. Sjafruddin tidak dapat diberikan gelar pahlawan nasional , cukup mendapat Bintang Republik saja dan karena 19 Desember 1948 (Hari berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia/PDRI, yg diketuai Mr. Sjafruddin sudah dijadikan Hari Bela Negara). Penulis menduga bahwa penolakan ini ada hubungannya dengan stigma yang melekat dalam benak penguasa bahwa diproklamasikannya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang diketuai oleh Mr Sjafruddin adalah pemberontakan.
Selanjutnya pada bulan April 2011, penulis selaku Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia (YMSI) Cabang Jabar mengadakan penelitian tentang PRRI. Penulis mendapatkan dokumen PRRI yang asli dari pihak keluarga Alm. Mr. Sjafruddin. Hasil penelitian membuktikan bahwa PRRI yang diproklamasikan 15 Februari 1958 itu, bukanlah pemberontakan.
Pada awal tahun 2011, penulis selaku Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD), yaitu lembaga pengganti BPPD, yang dibentuk sesuai Undang-Undang no 20 tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dan Peraturan Pemerintah no 35 tahun 2010 merencanakan untuk mengusulkan kembali Mr. Sjafruddin sebagai pahlawan nasional. Sesuai prosedur, harus dilakukan seminar nasional. Seminar pun diselenggarakan bekerjasama dengan Panitia Seabad Sjafruddin Prawiranegara yang diketuai A.M Fatwa. Perlu diketahui bahwa panitia ini mengadakan seminar di berbagai kota (Bandung, Jakarta, Bukittinggi, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Palembang, Banda Aceh, Pekanbaru, Palembang, Serang, dan Menado), tentang peran besar Mr. Sjafruddin Prawiranegara dalam menyelamatkan republik melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang diproklamasikan Mr. Sjafruddin pada tanggal 19 Desember 1948. Hasil seminar yang dibuka oleh Menteri Pertahanan RI pada tanggal 25 April 2011dan dihadiri pula oleh Gubernur Jawa Barat ini, diberkas bersama dengan hasil penelitian YMSI yang telah disebutkan untuk selanjutnya dikirimkan ke Kementrian Sosial pada awal Juni 2011.
Seminar-seminar yang dilakukan Panitia Seabad Mr. Sjafruddin Prawiranegara, di mana penulis ikut menjadi pembicara (di DPD-RI, di Bukitttinggi, dan di Universitas Paramadina Jakarta) ini disadari ataupun tidak, menjadi semacam “political pressure” untuk membukakan mata hati pemerintah agar mengangkat Alm. Mr. Sjafruddin sebagai pahlawan nasional. Alhamdulillah, setelah melalui perdebatan yang alot di Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan yang diketuai oleh Menkopolhukam, Alm. Mr. Sjafruddin pun lolos bersama enam kandidat pahlawan lainnya. Perlu diketahui bahwa untuk tahun 2011 ini, ada 22 calon pahlawan nasional yang diusulkan dari berbagai propinsi. Akhirnya pada tanggal 8 Nopember , Alm.Mr Sjafruddin Prawiranegara pun dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang diusulkan Provinsi Jabar dengan dukungan dari Provinsi Sumatra Barat, Aceh, dan Banten.
Siapakah Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Apa Jasa-jasanya Bagi Bangsa dan Negara?
Sjafruddin Prawiranegara adalah Warga Negara Indonesia,yang dilahirkan di Anyar Kidul, Serang, Banten, pada tanggal 28 Feb 1911, dan meninggal dunia di Jakarta, tanggal 15 Februari 1989. Ayahnya adalah R. Arsyad Prawiraatmadja, seorang jaksa dan kakeknya menjadi patih di Serang. Mengenai riwayat hidup dan perjuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara selengkapnya dapat dibaca dalam karya Ajip Rosidi yang ditulis secara cermat, dengan judul Mr Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT; Sebuah Biografi (1986).
Adapun jasa Mr. Sjafruddin bagi bangsa dan negara, sangatlah besar. Mr.Sjafruddin telah menduduki posisi penting pada saat-saat kritis awal kemerdekaan RI. Pertama ia menjadi menteri dalam kabinet Syahrir, kedua, menjadi Menteri Kemakmuran dalam Kabinet presidensial Hatta dan kemudian menjadi Wakil Perdana Menteri yang berkedudukan di Kutaraja, menjelang Konferensi KMB. Setelah itu menjadi Menteri Keuangan RIS dan Menteri Keuangan Kabinet RI yang pertama di bawah PM Natsir. Pada tahun 1952, ketika Javasche Bank dinasionalisasi, Sjafruddin diangkat sebagai Presiden Direktur Javasche Bank menggantikan orang Belanda, dan menjadi Gubernur BI pertama, bulan Juli 1953. Nasionalisasi itu dengan pembelian saham dari pasar saham di Negeri Belanda.
Sjafruddin dalam kehidupan kenegaraan adalah seorang yang berpikir jauh ke depan. Ketika RUU Bank Indonesia sedang dirumuskan dia memperjuangkan agar Bank Indonesia sebagai Bank Sentral tetap merupakan lembaga independen tidak di bawah dominasi pemerintah sebab kalau kekuasaan politik mencakup kekuasaan masalah keuangan bisa membahayakan sirkulasi keuangan. Baru pada tahun 1999, gagasan Sjafruddin ini dijadikan landasan UU Bank Indonesia yang baru pada masa Kepresidenan B.J. Habibie.
Jasa utama Alm. Sjafruddin Prawiranegara, adalah menyelamatkan eksistensi Republik Indonesia. Ketika Presiden Soekarno dan Wakilnya Moh Hatta serta setengah dari kabinet ditangkap Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, pemerintah sempat membuat perintah agar Sjafruddin Prawiranegara yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI, mendirikan Pemerintah Darurat di Bukittinggi. Namun telegram itu tidak pernah sampai karena Gedung PTT di Yogyakarta keburu diduduki NICA. Namun atas insiatif lokal, Sjafruddin bersama pemerintahan di Sumatera Tengah (nantinya disebut Sumatra Barat) telah mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. PDRI kemudian diresmikan di Halaban pada tanggal 22 Desember 1948. Pemerintahan yang didukung oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman ini berjalan secara darurat dan berpindah-pindah mulai dari Halaban ke Riau, Teluk Kuantan, Kiliranjao, Sungai Dareh, Muara Bungo, Abai Sangir, kemudian bermarkas di Bidar Alam selama tiga setengah bulan..
Ketika Jenderal Spoor mengatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, ternyata Sjafruddin berhasil mengumandangkan ke dunia luar bahwa Republik masih ada, dengan didirikannya Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Hal ini menyebabkan PBB mendorong Belanda untuk kembali ke meja perundingan. Proses perundingan Roem-Royen dilakukan tanpa sepengetahuan PDRI. Tentu saja Mr. Sjafruddin marah dengan kebijakan tersebut. Untuk mengantisipasi hasil Perundingan Roem Royen, diadakan Musyawarah Besar di Sumpur Kudus, Sawah Lunto. Pernyataan Roem Royen pun kemudian dirundingkan dengan Hasil Mubes Sumpur Kudus di Desa Padang Jopang, Kabupaten 50 Kota. Itulah Perundingan yang terjadi antara 6-8 Juli 1949 antara Sjafruddin dengan sahabatnya M. Natsir, dkk. Demi persatuan kesatuan, Presiden Sjafruddin menerima keputusan dengan legowo. Hal ini terefleksikan dari ucapan Sjafruddin ketika menyerahkan mandat (yang tidak pernah secara resmi diterimanya) dalam sidang kabinet yang digelar secara resmi pada tanggal 13 Juli 1949: “PDRI tidak punya pendapat mengenai pernyataan Roem van Royen, tetapi semua akibat ditanggung bersama”. Dengan cara ini Sjafruddin telah memperlihatkan makna etika kekuasaan.(ethics of power) dalam kehidupan politik yang nyata.
Sjafruddin Prawiranegara bukanlah pengkhianat dan PRRI bukanlah pemberontakan.
Dari dokumen PRRI, dapat diketahui bahwa ketika Sjafruddin menjadi Perdana Menteri Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang kemudian menjadi Republik Persatuan Indonesia (RPI), tidaklah ia bermaksud melakukan pemberontakan terhadap negara RI. Menurut interpretasi historis yang kami lakukan, gerakan RPI/PRRI tidak bisa disebut sebagai pemberontakan, tetapi sebagai gerakan protes daerah terhadap pemerintahan pusat , khususnya Presiden Soekarno, yang dianggap telah melanggar konstitusi dan terlalu cenderung kepada komunis..
PRRI dibentuk pada tanggal 15 Februari 1958, saat itu terjadi perdebatan konstitusi, yang terjadi setelah Presiden RI Soekarno menjadikan dirinya sebagai formatur kabinet dan mulai berusaha ke arah terwujudnya Demokrasi terpimpin. Padahal Soekarno menurut UUDS 1950, adalah kepala Negara dan bukan kepala pemerintahan. PRRI adalah bentuk protes terhadap kecenderungan pemerintahan yang otoriter. Sjafruddin mengadakan penentangan terhadap kemungkinan munculnya sebuah rezim yang otoriter dan sentralistis serta munculnya kekuatan-kekuatan anti agama (komunis), dan rezim yang mengingkari cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Ia meminta agar kabinet Juanda yang dibentuk secara tidak sah itu agar dibubarkan dan diganti dg kabinet baru Hatta dan HB IX, dan menuntut agar Presiden kembali ke UUDS . Jadi, PRRI tidak memusuhi NKRI, tidak bermaksud mendirikan negara baru, tetapi bermaksud mengoreksi Jakarta. Bahkan, Sjafrudin dkk. Dalam hal ini telah mengalihkan keinginan sekelompok orang yang ingin mendirikan negara baru, dengan merangkulnya ke dalam PRRI. Namun, Presiden Soekarno tanpa kompromi langsung menindas gerakan tersebut dengan melakukan pemboman-pemboman yang menimbulkan jatuh korban jiwa.
Dengan Keputusan Presiden No.375 Tahun 1961 tertanggal 1 Juli 1961, dan kemudian digantikan dengan Surat Keputusan Presiden no 449 tahun 1961 tertanggal 17 Agustus 1961, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan pengikut PRRI/RPI telah mendapatkan amnesti dan abolisi. Atas dasar amnesti dan abolisi tersebut, Sjafrudin Prawiranegara selaku Presiden RPI pada tanggal 17 Agustus 1961, menyampaikan maklumat untuk menghentikan segala tindakan perlawanan dan permusuhan kepada pemerintahan Republik Indonesia. Hal itu menunjukkan kesungguhan Sjafrudin Prawiranegara memenuhi panggilan Pemerintah untuk kembali ke Ibu Pertiwi. Namun ternyata kemudian Mr. Sjafruddin ditahan di berbagai tempat dan baru dibebaskan pada tahun 1966 ketika pemerintahan telah berganti dengan Orde Baru. Jadi secara hukum Mr. Sjafruddin tidak pernah dianggap bersalah karena tidak pernah diadili dan tidak pernah dibuktikan bersalah. Jelas dengan adanya amnesti dan abolisi ini, Sjafruddin bukanlah pengkhianat dan PRRI juga bukan pemberontakan.
Dengan mengingat jasa-jasanya yang besar bagi bangsa dan negara ini, dan terbukti bahwa Mr. Sjafruddin bukan pengkhianat negara atau pemberontak, memang sangat layak bila Mr. Sjafruddin dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Penutup
Banyak orang di sekeliling kita, yang telah berjasa, tetapi tidak mendapat gelar pahlawan, juga tak ingin disebut pahlawan. Namun, tidak dapat dinafikan bahwa hanya sedikit saja yang bisa kita usung untuk diangkat sebagai pahlawan nasional karena kriterianya yang berat dan harus menempuh perjuangan berliku sesuai yang telah digariskan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Kami akan terus memperjuangkan mereka yang memang pantas mendapat anugerah pahlawan nasional, meskipun mungkin ada yang tidak setuju dengan pahlawan yang dilembagakan ini. Mengapa? Karena kami beranggapan pahlawan nasional tetap diperlukan, setidaknya untuk memberikan keteladanan dan inspirasi kepada generasi muda, elite politik, dan masyarakat pada umumnya, bagaimana harus memperjuangkan kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan dan bukannya menghancurkan negeri yang sudah dibayar dengan darah dan air mata para pahlawan seperti Mr. Sjafruddin Prawiranegara.
Read more...