Secara teori, kebijakan pemerintah terkait penurunan harga jual semen ini hanya berlaku bagi perusahaan semen BUMN, dalam hal ini SMGR dan Semen Baturaja (SMBR), dimana Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas dari kedua perusahaan tersebut tentunya memiliki kuasa penuh untuk menaikkan atau menurunkan harga jual dari produk semen yang dihasilkan perusahaan. However, kalau SMGR sebagai pemimpin pasar semen di Indonesia menurunkan harga jual produknya, maka mau tidak mau perusahaan semen lainnya akan turut dipaksa untuk melakukan hal yang sama. Jadi ini bisa menjelaskan kenapa saham dari perusahaan semen swasta seperti INTP dan SMCB ikut tertekan.
Tapi benarkah kebijakan Pemerintah ini benar-benar akan menekan kinerja perusahaan-perusahaan semen kedepannya? Well, mungkin nggak juga, dan berikut penjelasannya.
Ketika Pemerintah mengumumkan penurunan harga jual semen, pada saat yang bersamaan Pemerintah juga mengumumkan penurunan harga jual BBM (premium dan solar) dan elpiji non-subsidi. Penurunan tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan harga minyak dunia (dan gas) yang memang sedang turun. Seperti yang kita ketahui, pada saat ini Pemerintah sudah tidak lagi mensubsidi BBM jenis premium sehingga harga jualnya bisa berubah setiap saat, dalam hal ini setiap dua minggu sekali, dengan mengikuti perkembangan harga minyak dunia. Untuk gas elpiji non-subsidi ceritanya juga sama, dimana harga jualnya akan disesuaikan dengan perkembangan harga gas dunia. Terkait harga semen, belum jelas soal apakah harganya juga akan naik dan turun mengikuti harga BBM. Namun karena penurunan harga jual semen ini diumumkan berbarengan dengan penurunan harga BBM, maka besar kemungkinan bahwa kedepannya harga jual semen juga akan dinaikkan dan diturunkan mengikuti harga BBM.
Ini artinya kalau nanti harga bensin naik lagi, maka harga jual semen juga akan dinaikkan kembali. Malah faktanya tanpa perlu Pemerintah mengumumkan kenaikan harga, harga semen sudah pasti akan naik dengan sendirinya ketika nanti harga BBM naik kembali, karena memang setiap kali harga BBM naik maka harga barang-barang termasuk semen akan juga naik dengan sendirinya.
Sementara ketika gilirannya harga BBM turun (ini bukan kali pertama harga BBM turun), maka biasanya harga barang-barang bukannya ikut turun tapi malah cenderung tetap. Jika ‘kebiasaan buruk’ ini dibiarkan maka akan menyebabkan tingginya inflasi, yang pada akhirnya mengganggu perekonomian. Dan mungkin itu pula sebabnya Pemerintah mengeluarkan kebijakan intervensi pasar, dalam hal ini dimulai dari harga jual semen karena seperti hal-nya industri BBM di Indonesia dikuasai oleh Pemerintah melalui Pertamina, industri semen juga dikuasai oleh Pemerintah melalui Semen Indonesia (dan juga Semen Baturaja). Ketika harga semen disebutkan turun Rp3,000 per sak, maka sejatinya harga semen tersebut tidak benar-benar turun melainkan hanya balik lagi ke harga semula sebelum dinaikkan beberapa waktu lalu, yakni ketika harga BBM jenis premium naik dari Rp6,500 menjadi Rp8,500 per liter. Berdasarkan survei yang penulis lakukan sendiri ke toko bangunan di dekat rumah (di Jakarta), harga semen merk Tiga Roda pada saat ini adalah Rp62,000 per sak. Harga tersebut lebih tinggi dibanding beberapa bulan lalu sebelum BBM naik, yakni Rp58,000 per sak. Jadi kalau harga tersebut diturunkan Rp3,000, maka secara keseluruhan sebenarnya harga semen masih naik seribu perak toh?
Itu yang pertama. Yang kedua, meski tidak secara resmi diumumkan oleh Pemerintah, namun tarif dasar listrik non-subsidi untuk pelanggan industri juga ikut turun mengikuti penurunan harga minyak dunia (sehingga nanti kalau harga minyak dunia naik, maka tarif listrik ini juga akan naik lagi). Mengingat biaya listrik adalah salah satu komponen utama dari ongkos produksi semen, maka penurunan harga jual semen belum tentu berdampak signifikan terhadap laba bersih perusahaan, karena disisi lain biaya produksi semen-nya juga turun. Malahan kalau penurunan biaya produksi ini lebih besar dibanding penurunan harga jual semen, maka SMGR dkk jadinya justru diuntungkan, karena itu artinya margin laba mereka menjadi lebih besar. Ingat bahwa biaya BBM juga merupakan salah satu biaya utama yang harus ditanggung perusahaan-perusahaan semen, dalam hal ini biaya distribusi, dan biaya itu juga turun seiring dengan penurunan harga BBM itu sendiri.
Kesimpulannya, terlalu dini jika kita langsung memvonis bahwa ‘penurunan’ harga jual semen ini akan berdampak negatif pada perolehan laba para juragan semen. Kalau kita melihatnya dari sisi lain, maka ketika Pemerintah mengumumkan penurunan harga jual semen, itu adalah kabar baik bagi perusahaan-perusahaan konstruksi dan juga para developer properti, dimana kalau mereka sebelumnya menghemat anggaran belanja semen (karena harganya naik), maka sekarang mereka akan ramai-ramai menyerbu toko bangunan kembali. Jadi penurunan harga jual semen, jika itu benar-benar terjadi, akan dikompensasi oleh peningkatan omzet. Hal ini juga sejalan dengan visi Presiden Jokowi untuk mengembangkan infrastruktur di Indonesia, dimana visi tersebut tidak akan jalan kalau Adhi Karya dkk belum apa-apa udah males duluan ketika ketemu orang sales dari SMGR yang dengan seenaknya menaikkan harga karena alasan harga BBM naik, tapi nggak mau nurunin harga ketika gilirannya harga BBM turun.
Okay, jadi apa itu artinya sekarang merupakan saat yang tepat untuk membeli SMGR, INTP, SMBR, atau SMCB, mumpung harganya lagi turun? Sebelum itu, mari kita cek valuasi terbaru dari saham-saham semen, dan berikut datanya berdasarkan harga saham per tanggal 23 Januari 2015:
Stocks
|
Price (Rp)
|
PER (x)
|
PBV (x)
|
ROE (%)
|
SMGR
|
14,475
|
15.8
|
3.8
|
24.2
|
INTP
|
23,000
|
17.1
|
3.6
|
21.3
|
SMCB
|
1,985
|
20.0
|
1.7
|
8.5
|
SMBR
|
376
|
12.6
|
1.4
|
11.3
|
Nah, kalau anda perhatikan, ketika tanggal 16 Januari kemarin pengumuman soal penurunan harga semen ini keluar, maka saham yang paling terkena dampak negatifnya adalah SMGR, dimana dia turun total 14% dalam dua hari. Sementara yang paling kuat bertahan adalah SMBR, yang cuma turun gak sampe 5% pada periode waktu yang sama. And you know what? Dari sisi PBV, seperti yang ditunjukkan pada tabel diatas, saham SMGR merupakan saham termahal di BEI pada saat ini, sementara SMBR adalah yang termurah. Jadi perbedaan yang signifikan pada penurunan yang dialami SMGR dan SMBR, padahal dua-duanya merupakan perusahaan semen BUMN yang terkena dampak langsung dari penurunan harga semen ini, menjadi bisa dijelaskan. SMGR, karena valuasinya yang premium, sejak awal sudah rentan terhadap risiko penurunan jika sewaktu-waktu IHSG turun atau perusahaannya diterpa sentimen negatif tertentu. Sementara SMBR, karena valuasinya lebih rendah, maka risiko penurunannya otomatis lebih rendah pula.
Jadi sebenarnya tidak ada yang salah dengan fundamental SMGR. Malahan sampai sekarang penulis masih menganggap SMGR sebagai perusahaan semen dengan fundamendal terbaik di BEI. Tapi kalau harga sahamnya ketinggian maka yaa.. gitu deh. Kalau anda perhatikan, dalam setahun terakhir saham SMGR selalu terjaga di level 15,000 – 16,000 dan gak mau turun (pernah turun sesekali ke 14,000-an, tapi langsung naik lagi) karena didorong oleh optimisme investor terkait prospeknya seiring dengan pembangunan infrastruktur. Namun karena disisi lain valuasinya juga sudah mahal, maka sahamnya sulit untuk naik lebih lanjut dan justru bisa dengan mudah turun ketika terjadi sentimen negatif tertentu yang secara otomatis 'membuyarkan' prospeknya.
However, karena predikatnya sebagai ‘saham dengan fundamental terbaik’, maka SMGR pada saat ini lebih menarik perhatian penulis dibanding ketiga saham semen lainnya.
Problemnya adalah, bahkan setelah harganya turun ke posisi sekarang, valuasi SMGR masih belum benar-benar terdiskon. Berdasarkan pengalaman, PER 15.8 kali (sebagai saham blue chip, valuasi SMGR bisa dilihat pula dari PER-nya) masih belum bisa dikatakan cukup rendah bagi saham dengan kriteria seperti SMGR yakni: 1. Sahamnya sangat likuid, 2. Nama perusahaannya terkenal dan juga punya reputasi baik, 3. Kinerjanya sangat baik dan juga konsisten dalam jangka panjang. Idealnya, pada kondisi pasar yang normal dimana IHSG tidak sedang terkoreksi signifikan, PER SMGR adalah kurang lebih 14 kali, sehingga dia baru bisa dikatakan murah kalau PER-nya sudah dibawah 14 kali tersebut, yang itu berarti target penurunannya adalah hingga 12,500, dimana harga tersebut akan mencerminkan PER 13.6 kali.
Lalu apakah SMGR akan benar-benar turun sampai level 12,500 tersebut? Ya ndak tau.. Siapa yang tahu kalau dua minggu lagi Pemerintah ternyata kembali menaikkan harga semen, sehingga SMGR dan yang lainnya langsung berbalik terbang? Namun yang kita ketahui adalah, valuasi SMGR pada saat ini masih belum cukup murah. Secara teknikal-pun SMGR belum tampak benar-benar rebound karena harganya sekarang masih dibawah support kuatnya (yang sekarang menjadi resistance), yakni 14,625. Kenaikan yang terjadi dua hari terakhir kemungkinan juga hanya karena didorong kenaikan IHSG yang sedangbreak new high. Jadi kalau nanti IHSG turun maka SMGR bisa saja melanjutkan penurunannya. Dan terakhir, sekali lagi berdasarkan pengalaman, kalau ada saham blue chip yang turun karena penyebab atau sentimen negatif tertentu, maka dia akan memerlukan waktu, mungkin satu dua atau beberapa bulan, untuk bisa naik lagi, yakni ketika sentimen negatif tadi dilupakan orang dengan sendirinya.
So, ketika para analis sekuritas sibuk merilis riset dan analisis mereka yang pada intinya adalah memprediksi bagaimana kinerja SMGR dkk kedepan, termasuk dengan menyertakan hitung-hitungan penurunan margin laba bersih bla bla bla yang sangat rumit, namun kita value investor mikirnya sederhana saja: Kalau nanti SMGR beneran ke lanjut turun ke 12,500 atau dibawahnya, maka boleh mulai cicil, sembari terus mengamati perkembangan kinerja perusahaan dari kuartal ke kuartal. Tapi kalau SMGR nggak turun sampai serendah itu maka yaaa.. masih ada banyak saham-saham lain yang lebih murah kok. Kalau anda masuk di harga sekarang maka anda bukannya nggak bisa dapet cuan, tapi risikonya tentu lebih besar dibanding jika anda sukses masuk di 12,500 tadi.
Sumber: Indonesia Value Investing