Saham Sri Rejeki Isman (Sritex)
Senin, 24 Agustus 2015
Prospek saham Sri Rejeki Isman (Sritex)
(Ditulis Mei 2015)
Seperti yang anda ketahui, pada saat ini sekitar 90% emiten di BEI sudah merilis laporan keuangannya masing-masing untuk periode Kuartal I 2015. Kabar buruknya, sebagian besar dari mereka mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan. Bahkan perusahaan sekelas Astra International (ASII) sekalipun mencatat penurunan laba hingga 15%, terburuk dalam 10 tahun terakhir. Melihat fakta tersebut maka tidak heran jika dalam semingguan terakhir ini IHSG anjlok hingga hampir 7% (meski belakangan rebound kembali), karena memang penulis sendiri, kalau saya memegang ASII atau saham-saham lainnya yang perusahaannya mencatatkan kinerja yang kurang oke, sudah tentu akan memilih untuk keluar dulu.
Kabar baiknya, dari 500-an perusahaan di BEI sudah tentu tidak semuanya mencatatkan kinerja yang buruk. Jika anda jeli, maka anda akan tetap bisa menemukan beberapa saham yang valuasinya masih cukup rendah, dan kinerja perusahaannya juga tidak ada masalah.
Dan salah satu saham tersebut adalah Sri Rejeki Isman (SRIL). SRIL mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 12.3% pada Kuartal I 2015, dan ROE 24.0%. Dengan PER hanya 7.3 kali pada harga 296, maka tentu saja saham ini relatif murah terutama ketika investor seperti tidak punya pilihan lain kecuali mengalokasikan dana mereka pada saham-saham yang masih mencatatkan kinerja yang bagus di awal tahun 2015 ini, salah satunya SRIL. Anyway, mari kita pelajari SRIL ini sejak awal.
SRIL pada saat ini merupakan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, atau bahkan di Asia Tenggara (dari sisi omzet penjualan), yang bermarkas di Sukoharjo, Jawa Tengah. Sejarah perusahaan dimulai pada tahun 1966 dimana pendiri perusahaan, Almarhum Haji Muhammad Lukminto, ketika itu membuka toko produk-produk tekstil di Pasar Klewer, Kota Solo. Dua tahun kemudian, HM Lukminto sukses mendirikan pabrik kain pertamanya di Jalan Baturono No.81A, Solo. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada tahun 1978, PT Sri Rejeki Isman, atau disingkat Sritex, resmi berdiri.
Tahun-tahun berikutnya, perusahaan terus berkembang. Tahun 1982, Sritex membuka pabrik tenun pertamanya. Pada tahun 1992, Sritex mencapai salah satu milestone-nya dengan menjadi perusahaan tekstil yang terintegrasi, dengan menguasai empat lini produksi yakni pemintalan, penenunan, pencelupan, dan garmen. Pada tahun 1994, Sritex untuk pertama kalinya memperoleh kepercayaan dari Pemerintah Jerman untuk memproduksi seragam militer bagi Tentara Jerman, dan dari situlah Sritex kemudian membangun reputasinya sebagai salah satu produsen seragam militer paling terkemuka di dunia.
Tahun 2006, HM Lukminto pensiun, dan posisinya sebagai chairman Sritex digantikan oleh putra pertamanya, Iwan Setiawan Lukminto. Di tangan generasi kedua perusahaan, perkembangan bisnis Sritex bahkan melaju lebih kencang lagi dalam waktu yang relatif singkat, dimana pada tahun 2013 Sritex resmi listing di BEI, mengakuisisi salah satu kompetitornya, PT Sinar Pantja Djaja (sehingga memperbesar kapasitas produksi perusahaan), dan melipat gandakan kapasitas produksi garmen-nya menjadi 12 juta pakaian per tahun. Pada saat ini Sritex menjadi supplier tetap seragam militer bagi lebih dari 30 negara di seluruh dunia, membuat seragam bagi karyawan di perusahaan-perusahaan di Indonesia, membuat baju dan produk-produk fashion lainnya untuk dijual ke toko ritel, memproduksi benang, kain mentahan, dan fabric. Dari tadinya hanya memiliki toko tekstil di Pasar Klewer, Solo, Sritex kini memiliki sentra produksi berupa kompleks pabrik seluas 52 hektar di Sukoharjo, belum termasuk kompleks pabrik kedua di Semarang, Jawa Tengah, seluas 18 hektar, dan pada akhir tahun 2014 mempekerjakan total 16,800 karyawan.
Nah, kalau anda mempelajari bisnis tekstil di Indonesia, maka anda akan menemukan beberapa fakta berikut:
Yang pertama, diluar komoditas seperti batubara dan CPO yang sempat booming beberapa tahun lalu, Indonesia juga memiliki produk tekstil sebagai salah satu produk andalan untuk ekspor. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2013 lalu Indonesia mengekspor pakaian jadi bukan rajutan (jadi belum termasuk produk-produk tekstil lainnya) senilai US$ 3.9 milyar. Nilai ekspor ini, meski jauh lebih kecil dibanding nilai ekspor batubara dan CPO senilai total lebih dari US$ 40 milyar, tapi masih lebih besar dibanding nilai ekspor dari produk andalan ekspor lainnya, seperti sepatu dan plastik. Pada tahun 2013 tersebut, berdasarkan data dari Statista.com, Indonesia juga termasuk salah satu dari sepuluh negara eksportir tekstil terbesar di dunia.
Kedua, seperti halnya industri minyak dan gas, mayoritas industri tekstil di Indonesia dikuasai asing, terutama asal Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan, atau setidaknya demikilanlah jika kita melihat komposisi pemegang saham dari 19 perusahaan tekstil yang listing di BEI (sementara secara keseluruhan, Indonesia memiliki 500-an perusahaan tekstil). SRIL adalah salah satu dari sedikit perusahaan tekstil di Indonesia yang masih dikuasai oleh pemilik lokal, tapi untungnya dia justru berstatus sebagai perusahaan tekstil terbesar.
Dan ketiga, entah itu karena adanya transfer pricing, kesulitan dalam memperoleh bahan baku produksi, atau lainnya, perusahaan-perusahaan tekstil yang listing di BEI kebanyakan mencatatkan kinerja yang buruk dalam jangka panjang. Kalau kita ambil contoh dua kompetitor utama SRIL, yakni Pan Brothers (PBRX), dan Apac Citra Centertex (MYTX), maka PBRX memiliki margin laba yang sangat tipis (kurang dari 3%) sehingga ROE-nya nggak nyampe 10%. Untuk MYTX malah lebih parah lagi, dimana perusahaan terus saja merugi sejak tahun 2008 sampai sekarang. Kalau melihat fakta bahwa Indonesia adalah salah satu produsen tekstil terbesar di dunia, termasuk kalau di Bandung sendiri penulis bisa melihat ada banyak pengusaha pemilik pabrik tekstil atau toko pakaian yang kaya raya, maka hal ini menjadi aneh: Ngapain aja para perusahaan tekstil itu sampe rugi melulu?
However, hal yang berbeda terjadi pada SRIL. Antara tahun 2010 – 2014, perusahaan selalu mencatatkan margin laba antara 5 – 8%, dan perolehan laba itu sendiri senantiasa naik dari tahun ke tahun. Dan pada awal tahun 2015 ini, trend kenaikan tersebut masih berlanjut dimana seperti yang sudah disebut diatas, pada Kuartal I 2015 laba bersih perusahaan naik 12.3% dibanding periode yang sama tahun 2014, dan ROE tercatat 24.0%. Karena disisi lain nilai ekuitas SRIL sebenarnya melonjak karena adanya tambahan modal sebesar Rp1.3 trilyun dari IPO-nya pada tahun 2013, maka ROE sebesar 24.0% tersebut terbilang sangat baik, karena itu berarti bahwa perusahaan bisa dengan cepat menggunakan dana hasil IPO-nya (hanya butuh waktu setahun) untuk melakukan pengembangan usaha.
Lalu bagaimana dengan prospek perusahaan kedepan?
Sebagai sebuah perusahaan, SRIL boleh dibilang mengalami masa-masa keemasannya terutama sejak tampuk kepemimpinan perusahaan diambil alih oleh Iwan Setiawan Lukminto, dan juga adiknya, Iwan Kurniawan Lukminto (Iwan S. menjadi komisaris, sementara Iwan K. menjadi direktur), dimana sejak tahun 2006 lalu SRIL melakukan banyak pembangunan pabrik baru untuk memperbesar kapasitas produksi, meningkatkan efisiensi, memperluas diversifikasi produk, hingga menambah jaringan pelanggan. And so far, berbagai ekspansi tersebut sukses besar hingga SRIL sekarang ini menjadi perusahaan tekstil terbesar di Indonesia (pada tahun 2006, SRIL sama sekali belum sebesar sekarang).
Namun proses ekspansi itu sendiri masih jauh dari kata berhenti. In fact, perusahaan masih punya rencana untuk meningkatkan kapasitas produksinya hingga tahun 2016 nanti (dihitung sejak 2006, berarti proses ekspansinya membutuhkan waktu total 10 tahun), salah satunya produksi pakaian jadi yang ditargetkan akan mencapai 30 juta potong pada tahun 2016, meningkat 150% dibanding 2013.
Lalu dari mana kebutuhan modalnya? Well, setelah sukses meraup Rp1.3 trilyun dari IPO-nya di BEI pada tahun 2013 lalu (yang langsung habis untuk membangun ini dan itu), setahun kemudian SRIL menerbitkan obligasi senilai US$ 270 juta di Singapura, dimana US$ 110 juta diantaranya digunakan untuk melunasi utang bank (refinancing, utang bank dengan bunga 11 – 12% per tahun diganti dengan utang obligasi dengan bunga yang lebih murah, yakni 9% per tahun), sementara selebihnya dipakai untuk belanja modal.
Karena adanya utang obligasi ini maka nilai kewajiban SRIL tercatat total US$ 433 juta pada Kuartal I 2015, atau mencapai 1.7 kali nilai ekuitasnya sebesar US$ 247 juta, dan menurut penulis sendiri ini DER sebesar itu agak berisiko. Wujud utangnya yang dalam mata uang USD juga membuat kinerja SRIL menjadi rentan terhadap risiko pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi akhir-akhir ini. However, karena proses ekspansi yang dilakukan SRIL sudah lebih dari separuh jalan (dan sejauh ini semuanya lancar-lancar saja), maka penulis optimis bahwa manajemen akan mampu menggunakan dana hasil penerbitan obligasinya secara optimal. Pelemahan nilai tukar Rupiah juga seharusnya tidak akan berdampak negatif karena toh mayoritas pendapatan SRIL juga dalam mata uang USD. In fact, jika ada perusahaan-perusahaan di BEI yang diuntungkan karena pelemahan Rupiah, maka SRIL adalah salah satu perusahaan tersebut mengingat SRIL membayar biaya bahan baku dan tenaga kerja dalam mata uang Rupiah (posisi SRIL sebagai perusahaan tekstil yang terintegrasi dari hulu ke hilir menyebabkan perusahaan tidak tergantung pada impor bahan baku), namun memperoleh pendapatannya dalam mata uang USD. Dan tidak seperti harga CPO atau batubara yang terus saja turun dalam tiga tahun terakhir, harga produk-produk tekstil yang dihasilkan perusahaan terbilang sangat stabil.
Jadi jika tidak ada aral melintang ataupun kejadian luar biasa (force majeure) terentu, maka kinerja positif serta pertumbuhan aset yang signifikan yang dihasilkan oleh SRIL sejauh ini seharusnya bisa dipertahankan paling tidak hingga tahun 2016 nanti. And by that I pointed to you, private equity guys, ‘coz you do like prospect, eh?
Kemudian bagaimana dengan sahamnya?
Sejak listing perdana di BEI pada bulan Juni 2013 di harga 240, pergerakan SRIL terbilang fluktuatif dimana meski ia sempat naik sampai 300 pada Januari 2014, tapi selanjutnya ia malah turun, dan terus saja turun hingga sempat menyentuh 120 pada Oktober 2014, atau anjlok persis 60% dibanding harga puncaknya, yang mungkin itu karena investor khawatir dengan utang obligasi perusahaan sebesar US$ 270 juta, dimana nilainya dalam mata uang Rupiah tentu akan meningkat jika Rupiah itu sendiri melemah.
However, seperti yang sudah dibahas diatas, pelemahan Rupiah seharusnya tidak akan berdampak negatif terhadap perusahaan. Penulis sendiri mulai tertarik dengan saham ini ketika ia berada di posisi 150-an, karena ketika itu PBV-nya cuma 1.1 kali sementara kinerja perusahaan terbilang no problemo (saya ketika itu sudah membahas dan merekomendasikan sahamnya di ebook kuartalan edisi Kuartal III 2014). Plus, SRIL berstatus sebagai leader di bidangnya, dan juga menawarkan prospek pertumbuhan jangka panjang seperti yang sudah dibahas diatas. Meski ketika itu sahamnya masih downtrend berat sampai tinggal sisa 120-an perak, namun setelah penulis pertimbangkan, no way sahamnya bisa sampai ke gocap. Malahan jika perusahaan sukses membukukan kenaikan laba pada Kuartal I 2015 nanti, maka sahamnya seharusnya bakal sukses naik kembali.
Dan kabar baiknya, SRIL memang sukses mencatatkan kinerja positif di Kuartal I 2015. Tapi kabar buruknya, sahamnya juga sudah terbang duluan. Setelah sideways cukup lama di rentang harga 150 – 160 dari November 2014 hingga Februari 2015, sejak awal Maret lalu SRIL mulai merangkak naik dan teruuus saja naik hingga sekarang sebentar lagi mencetak new high. Tapi dari sisi valuasi dimana harga 296 masih mencerminkan PER 7.6 kali dan PBV 1.7 kali, serta dengan memperhatikan outlook perusahaan yang cukup cerah, maka peluang kenaikan lebih lanjut bagi SRIL mungkin masih terbuka. Secara konservatif saja, dengan mempertimbangkan bahwa PBV yang wajar bagi SRIL ini adalah 2.0 kali, maka targetnya sekitar 350. Fluktuasi IHSG sepertinya tidak berpengaruh dimana meski semingguan ini IHSG turun tajam, namun SRIL malah terus saja naik, dan kenaikannya tersebut memang ditopang oleh fundamentalnya yang juga bagus.
Hanya saja, berdasarkan pola pergerakan saham ini di masa lalu, SRIL memang cenderung fluktuatif dimana dia bisa cepat naik, tapi juga bisa dengan cepat turun. Kenaikan hingga nyaris 2 kali lipat (dari 150-an hingga sebentar lagi tembus 300) hanya dalam tempo dua bulan juga tentu saja terlalu cepat, dimana kedepannya mungkin akan ada investor yang profit taking dari SRIL ini sehingga menyebabkan sahamnya turun kembali. Secara teknikal, support kuat hingga beberapa bulan kedepan bagi SRIL ini adalah di level 225-an, atau cukup jauh dibawah posisi harganya saat ini (jadi secara teknikal pula, anda baru boleh akumulasi SRIL di harga 225-an tersebut).
Karena itulah, jika anda tertarik dengan saham ini maka strateginya adalah sebagai berikut: 1. Jadikan SRIL ini sebagai investasi untuk jangka minimal menengah (3 – 12 bulan), dimana target 350 tadi mungkin baru bisa dicapai, dengan catatan tidak terjadiforce majeure, dalam waktu hingga setahun dari sekarang. Lupakan soal trading jangka pendek apalagi swing, karena SRIL ini terlalu bagus untuk itu, dan 2. Sebelum waktu setahun tersebut ada kemungkinan SRIL ini bisa turun dulu, mungkin mentoknya sampai 225 tadi. Karena itulah anda sebaiknya membeli SRIL ini secara sedikit demi sedikit sambil ‘testing the ground’, yakni untuk mengetahui bahwa kalau saham ini nantinya turun lagi maka dia mentoknya sampai berapa. Jangan beli sekaligus terutama karena posisi IHSG juga masih rentan koreksi lanjutan, dimana kalau ada orang yang beli SRIL ini pake duit margin dan dia kena force sell, maka SRIL tetap akan terseret turun meski fundamentalnya nggak kenapa-napa.
Okay, I think that’s all. Any comments? :)
PT. Sri Rejeki Isman, Tbk (SRIL)
Rating Kinerja pada Kuartal I 2015: A
Rating Harga Saham pada 296: A
--------------
Sumber: Indonesia Value Investing
Read more...
(Ditulis Mei 2015)
Seperti yang anda ketahui, pada saat ini sekitar 90% emiten di BEI sudah merilis laporan keuangannya masing-masing untuk periode Kuartal I 2015. Kabar buruknya, sebagian besar dari mereka mencatatkan kinerja yang kurang memuaskan. Bahkan perusahaan sekelas Astra International (ASII) sekalipun mencatat penurunan laba hingga 15%, terburuk dalam 10 tahun terakhir. Melihat fakta tersebut maka tidak heran jika dalam semingguan terakhir ini IHSG anjlok hingga hampir 7% (meski belakangan rebound kembali), karena memang penulis sendiri, kalau saya memegang ASII atau saham-saham lainnya yang perusahaannya mencatatkan kinerja yang kurang oke, sudah tentu akan memilih untuk keluar dulu.
--------------
Sumber: Indonesia Value Investing