Konsep Margin of Safety (MOS), dalam hubungannya dengan investasi saham, sebenarnya sangat sederhana, yaitu: MOS adalah selisih dari harga saham dengan nilai intrinsik (intrinsic value) saham tersebut. So, katakanlah saham A memiliki nilai intrinsik Rp1,500. Jika anda membeli saham A tersebut pada harga Rp1,000, maka diskon atau MOS-nya adalah sebesar Rp500. Berdasarkan konsep MOS ini, maka seorang investor baru boleh dikatakan telah melakukan keputusan investasi yang tepat, jika ia membeli saham pada harga yang lebih rendah dari nilai intrinsik saham tersebut, semakin rendah tentunya semakin baik. Namun tentu hal ini menimbulkan pertanyaan baru: Apa itu yang dimaksud dengan nilai intrinsik? Dan bagaimana cara menghitungnya?
Konsep MOS pertama kali diperkenalkan oleh investor guru, Benjamin Graham, dan partnernya, David Dodd, pada tahun 1928, dengan poin utamanya adalah menentukan nilai intrinsik tadi. Anak didik Graham yang paling terkenal, Warren Buffett, bisa menjadi sangat sukses sebagai investor saham karena keahliannya yang luar biasa dalam menentukan nilai intrinsik dari suatu saham. Simpelnya, ketika Buffett bisa dengan akurat menentukan bahwa nilai intrinsik dari saham A, B, dan C, masing-masing adalah 100, 150, dan 200, sementara harga dari ketiga saham tersebut di market masing-masing adalah 80, 70, dan 250, maka saham yang akan dipilih Buffett adalah? Sudah tentu, saham B, karena diskonnya paling besar (harga saham B di pasar cuma 70, padahal nilai intrinsiknya mencapai 150). Buffett tidak peduli jika saham B ini harganya dari sisi PER atau PBV cukup mahal, asalkan perusahaannya benar-benar bagus yang ditunjukkan dengan nilai intrinsiknya yang tinggi. Bagi chairman Berkshire Hathaway ini, lebih baik berinvestasi pada perusahaan yang luar biasa bagus (baca: nilai intrinsiknya sangat tinggi) dengan harga saham yang masuk akal (gak harus murah), ketimbang berinvestasi pada perusahaan yang biasa-biasa saja, meski harga sahamnya murah. Karena logikanya, barang yang bagus tentunya tidak mungkin bisa didapat pada harga yang terlalu murah, bukan begitu?
Okay, lalu bagaimana cara Buffett dalam menghitung nilai intrinsik suatu saham? Sebelum ke bagian tersebut, mari kita sepakati dulu, apa yang dimaksud dengan ‘nilai intrinsik’ disini. Berdasarkan berbagai definisi yang penulis kumpulkan dari berbagai sumber, nilai intrinsik adalah nilai yang sesungguhnya dari suatu saham, dan itu berbeda dengan nilai pasar (harga saham) atau nilai buku (book value, atau ekuitas). Nilai intrinsik ini sudah termasuk memperhitungkan aset yang terlihat (ekuitas tadi) dan yang tidak terlihat(prospek, nama besar perusahaan, kekuatan merek produk, dll). Karena aset yang tidak terlihat ini seringkali sulit untuk dikalkulasi (karena di laporan keuangan juga nggak ada angka Rupiah/Dollar-nya), maka dua orang investor kemungkinan akan menjawab berbeda jika ditanya berapa nilai intrinsik dari satu saham yang sama, tergantung dari sisi mana mereka menghitung nilai intrinsik tersebut. Yup, nilai intrinsik adalah suatu ukuran yang sangat subjektif, dan karenanya tidak pernah ada nilai intrinsik yang benar-benar tepat untuk sebuah saham.
However, jika melihat track record dari Warren Buffett yang sangat sangat sukses di pasar saham dengan berbekal kemampuan spesialnya dalam mengitung nilai intrinsik, maka jika ada rumus cara menghitung nilai intrinsik, rumus Buffett-lah yang bisa kita pakai. Dan berikut berikut ini adalah langkah-langkah menghitung nilai intrinsik ala Warren Buffett, dan trust me, cara mengitungnya jauh lebih sederhana dari yang anda kira :)
Pertama-tama, sebelum menghitung nilai intrinsik sebuah saham, kita harus memilih dulu sahamnya. Pastikan bahwa anda memilih saham yang perusahaannya secara historis memiliki kinerja yang bagus, stabil, dan senantiasa bertumbuh dalam jangka panjang,katakanlah selama 10 atau minimal 5 tahun kebelakang. Indikator yang paling mudah bisa dilihat dari ekuitas dan laba bersihnya, apakah besar, dan naik terus atau tidak. Dan contoh paling gampang dari perusahaan yang kinerjanya bagus dan stabil dalam jangka panjang, siapa lagi kalau bukan Unilever Indonesia (UNVR), Charoen Pokphand (CPIN), atau Semen Indonesia (SMGR).
|
Logo PT Charoen Pokphand Indonesia, Tbk, perusahaan poultry terbesar di tanah air |
Kinerja perusahaan yang stabil dalam jangka panjang ini sangat penting untuk diperhatikan, karena salah satu elemen dari menghitung nilai intrinsik ala Warren Buffett adalah dengan memperkirakan berapa kira-kira pertumbuhan ekuitas dan laba bersih perusahaan kedepannya, dimana perusahaan dengan track record kinerja yang bagus tentunya akan lebih berpeluang untuk mencatat kinerja yang sama bagusnya di masa yang akan datang. Meski tentunya tidak ada jaminan bahwa perusahaan dengan kinerja yang stabil akan tetap mencatat kinerja yang stabil kedepannya, sama halnya dengan perusahaan yang baru berdiri atau punya kinerja amburadul di masa lalu bisa saja menjadi perusahaan yang bagus suatu hari nanti, namun tetap saja: Sebuah perusahaan dengan track record kinerja yang bagus tentunya bisa lebih dipercaya ketimbang perusahaan yang sebelumnya rugi melulu. Analoginya jika sebuah perusahaan membutuhkan seorang karyawan untuk posisi manager atau direktur, maka mungkinkah perusahaan tersebut merekrut karyawan fresh graduate yang belum berpengalaman, atau karyawan berpengalaman namun punya catatan buruk, katakanlah pernah tersangkut masalah hukum? Anda tahu jawabannya.
Selain punya kinerja yang stabil di masa lalu, anda juga harus mengerti benar tentang perusahaan serta jenis usaha/bisnisnya, sehingga dalam hal ini anda harus mempelajari tentang perusahaannya dulu sebelum kemudian baru masuk ke langkah berikutnya. Analoginya balik lagi ke perusahaan yang merekrut pegawai tadi: Apakah sebuah perusahaan akan langsung mempekerjakan seorang karyawan hanya karena CV-nya (baca: track record pengalamannya) bagus? Jelas tidak. Minimal ia harus melalui proses wawancara dengan pemilik perusahaan, atau pegawai yang posisinya lebih tinggi, atau HRD, dan jika cocok barulah ia akan diterima bekerja.
Selanjutnya, menurut Buffett, yang disebut dengan nilai intrinsik adalah jumlah uang cash yang bisa ditarik dari perusahaan selama perusahaan tersebut masih beroperasi. Dan yang disebut dengan ‘uang cash’ tersebut adalah angka ekuitas terakhir perusahaan(atau disebut juga nilai buku/book value), plus akumulasi dari laba bersih yang akan perusahaan peroleh/kumpulkan kedepannya, yaitu selama perusahaan tersebut terus beroperasi.
Contohnya kalau kita pakai CPIN, berikut adalah data laporan keuangan perusahaan untuk tahun penuh 2012 (kita pakai laporan keuangan untuk tahun penuh, bukan yang kuartalan).
- Jumlah saham CPIN adalah 16.4 milyar lembar
- Nilai ekuitas CPIN adalah Rp8.2 trilyun, sehingga setiap lembar saham CPIN mewakili ekuitas sebesar Rp499.
- Laba bersih per saham (EPS) CPIN untuk tahun 2012 tercatat Rp164.
Nah, jika kita asumsikan bahwa CPIN masih akan beroperasi hingga 10 tahun mendatang, dan bahwa selama 10 tersebut perusahaan berhasil mencetak EPS Rp164 per tahunnya, maka akumulasi dari EPS tersebut selama sepuluh tahun adalah Rp1,640. Ditambah ekuitas sebesar Rp499 tadi, maka kita memperoleh angka Rp2,139. Angka Rp2,139 per saham inilah, yang kemudian menjadi nilai intrinsik awal bagi saham CPIN.
Namun, perhitungannya belum selesai. Diatas disebutkan bahwa ‘nilai intrinsik’ sebesar Rp2,139 tersebut adalah dengan mengasumsikan bahwa CPIN masih akan beroperasi hingga 10 tahun mendatang, dan bahwa selama 10 tersebut perusahaan berhasil mencetak EPS Rp164 per tahunnya. Jadi pertanyaannya sekarang ada dua: Pertama, apakah anda cukup yakin bahwa CPIN bisa beroperasi selama lebih dari 10 tahun, katakanlah 20 tahun? Untuk pertanyaan ini misalnya kita jawab saja: Ya.
Kemudian pertanyaan kedua, apakah selama 20 tahun tersebut EPS CPIN akan tetap Rp164 per tahunnya? Tentu tidak, melainkan kemungkinan bakal naik terus setiap tahunnya, karena dalam lima tahun terakhir, rata-rata kenaikan laba bersih CPIN mencapai lebih dari 50% per tahun. Okay, kita ambil angka konservatif saja, yaitu bahwa setiap tahunnya laba bersih CPIN hanya akan naik 20%. Itu berarti EPS CPIN pada tahun 2013 akan menjadi Rp197, pada tahun 2014 menjadi Rp236, dan demikian seterusnya hingga di tahun 2032 (selama 20 tahun) CPIN akan mencetak EPS Rp6,287. Maka, jumlah akumulasi EPS selama 20 tahun tersebut, yaitu antara tahun 2013 - 2032, akan mencapai Rp36,740.
Sekedar catatan, EPS untuk tahun 2012 yang sebesar Rp164 nggak ikut dihitung, karena EPS tersebut sudah termasuk dalam ekuitas perusahaan di tahun yang sama (dalam bentuk saldo laba). Sekali lagi, ingat bahwa dalam menghitung nilai intrinsik, yang dihitung adalah akumulasi dari laba bersih yang akan perusahaan kumpulkan kedepannya, jadi nggak termasuk laba bersih yang sudah diperoleh di tahun 2012.
Sekarang, ingat bahwa uang sebesar Rp1,000 pada sepuluh tahun yang lalu, nilainya berbeda dengan Rp1,000 pada saat ini (jaman penulis kuliah dulu, seribu perak masih bisa dapet sebungkus nasi putih di warteg, tapi sekarang buat bayar parkir aja masih kurang). Dan pada sepuluh tahun kedepan, sangat mungkin bahwa uang Rp1,000 tersebut akan semakin tidak bernilai lagi. Itu artinya, ketika kita mengatakan bahwa akumulasi laba bersih CPIN adalah 36,740 pada tahun 2032, dan mengingat bahwa nilai dari duit sebesar 35 ribu perak di tahun segitu tentunya akan berbeda dengan 35 ribu perak pada saat ini, maka angkanya kemudian harus disesuaikan. Caranya? Dengan membaginya dengan angka bunga per tahun yang ditawarkan oleh instrumen investasi yang paling aman, dalam hal ini (menurut Buffett) bunga dari obligasi yang diterbitkan Pemerintah.
Kalau di Indonesia sendiri, ada beberapa jenis obligasi Pemerintah seperti itu, seperti SUN, ORI, hingga sukuk. Katakanlah kita ambil suku bunga sukuk, yang angkanya 6.25% per tahun. Maka, uang sebesar Rp36,740 di tahun 2032 adalah setara dengan Rp34,579 di tahun 2031, dan setara dengan Rp32,544 di tahun 2030, dan demikian seterusnya hingga menjadi.. Rp10,928, di tahun 2012. Ditambah dengan posisi ekuitas terakhir perusahaan, yaitu Rp499, maka totalnya menjadi Rp11,427. Maka bisa disimpulkan bahwa nilai intrinsik saham CPIN pada saat ini adalah kurang lebih 11,427, masih jauh lebih tinggi ketimbang harga sahamnya, yang cuma 4,950. Kesimpulannya, saham CPIN masih murah! Karena margin of safety-nya mencapai 130% (11,427 berbanding 4,950). Buffett sendiri menganggap bahwa MOS yang cukup safe alias aman untuk sebuah saham adalah minimal 25%.
However, angka 11,427 tadi bisa keluar sebagai nilai intrinsik untuk CPIN, kalau kita mengasumsikan bahwa CPIN ini cukup tangguh untuk secara stabil terus beroperasi hingga setidaknya 20 tahun kedepan. Sementara jika asumsi kita tidak seoptimis itu, yaitu bahwa CPIN hanya akan beroperasi hingga 10 tahun kedepan, maka nilai intrinsik CPIN, setelah penulis hitung, cuma Rp3,285 per saham, yang dengan demikian bisa dikatakan bahwa harga saham CPIN pada saat ini sudah overvalue. Buffett sendiri biasa menggunakan angka 10 tahun kedepan untuk menghitung akumulasi laba bersih yang bisa dikumpulkan sebuah perusahaan.
Dengan demikian, berikut adalah beberapa hal yang bisa disimpulkan dari ilustrasi perhitungan nilai intrinsik dan margin of safety diatas.
1. Nilai intrinsik biasanya lebih tinggi dari nilai buku
Konsep dasar dari nilai intrinsik adalah, ketika misalnya sebuah perusahaan memiliki modal bersih Rp500 milyar di neracanya (yang disebut juga nilai buku), maka itu bukan berarti nilai intrinsik perusahaannya adalah sama persis Rp500 milyar juga, melainkan seharusnya lebih dari itu. Kenapa? Karena dari modal tersebut perusahaan bisa mencetak laba, katakanlah jika ROE-nya 20% maka labanya Rp100 milyar setahun. Laba sebesar Rp100 milyar tersebut kemudian menjadi milik si pemegang saham, entah dalam bentuk dividen ataupun peningkatan modal, sehingga jumlah ‘uang’ yang dimiliki si pemegang saham, setelah setahun, akan menjadi Rp600 milyar (modal awal Rp500 plus laba bersih 100 milyar), dan demikian di tahun-tahun berikutnya akan meningkat terus seiring dengan meningkatnya jumlah laba perusahaan. Jadi ketika ada investor yang membeli sebuahperusahaan bagus dengan nilai ekuitas sebesar Rp500 milyar, pada harga Rp500 milyar juga (atau jika jumlah sahamnya 1 milyar lembar, maka itu berarti Rp500 per saham), atau dengan kata lain pada PBV 1 kali, maka dia boleh dibilang baru dapet rejeki nomplok. Rata-rata PBV dari saham-saham di BEI sendiri, dalam kondisi market normal alias tidak bullish ataupun bearish, adalah 2.0 – 2.2 kali. Untuk contoh CPIN diatas, PBV-nya pada harga saham 4,950 adalah 9.1 kali.
Meski demikian, harap diingat untuk menggaris bawahi kata ‘perusahaan bagus’ tadi. Karena beberapa perusahaan yang PBV-nya rendah, katakanlah kurang dari 2 kali, itu bisa saja bukan karena sahamnya murah, melainkan karena perusahaannya emang nggak bagus, katakanlah laba bersihnya minus alias rugi, yang itu berarti modal perusahaan kedepannya bukannya naik tapi malah turun karena tergerus kerugian. Atau, perusahaan masih mampu mencetak laba, namun persentase kenaikan labanya masih kalah dibanding laju inflasi (baca: penurunan nilai uang).
Dan kalau yang penulis perhatikan sendiri, dalam kondisi market yang normal, di BEI memang ada beberapa saham yang PBV-nya persis atau kurang dari 1 kali, tapi biasanya mereka tidak memenuhi kriteria saham yang bisa dihitung nilai intrinsiknya, yaitu kinerja perusahaan yang konsisten dalam jangka panjang, dan utang yang manageable (akan dijelaskan dibawah). Sementara saham yang memenuhi kriteria tersebut, seperti UNVR, CPIN, dan SMGR diatas, penulis kira sampai kapanpun kita nggak akan bisa beli sahamnya pada harga yang mencerminkan PBV 1 kali.
2. Perhatikan Utang Perusahaan
Seperti yang dikatakan Buffett, nilai intrinsik adalah modal awal plus akumulasi laba yang dikumpulkan perusahaan di masa depan (yang kemudian didiskon dengan persentase laju inflasi/suku bunga obligasi pemerintah, untuk memperoleh nilainya pada saat ini). Tapi bagaimana jika perusahaan memiliki utang? Ya itu berarti, perusahaan menanggung beban bunga yang akan mengurangi potensi laba. Meski demikian, mengingat bahwa ketika sebuah perusahaan mengambil utang, tujuannya adalah untuk menambah modal kerja yang pada akhirnya meningkatkan pendapatan dan laba, maka jika utang (atau tambahan modal kerja) ini bisa dikelola/dimanfaatkan dengan baik, maka jumlah peningkatan laba yang dihasilkan akan lebih besar dari beban bunga yang harus dibayar.
Karena itulah ketika kita mencari saham yang akan dihitung nilai intrinsiknya, salah satu kriteria yang juga tidak boleh dilewatkan adalah bahwa perusahaan yang bersangkutan harus memiliki jumlah utang yang tidak hanya tidak terlalu banyak, tetapi juga dikelola dengan baik, sehingga kemudian kita boleh mengasumsikan bahwa utang tersebut tidak akan mengganggu jumlah laba. Yang dimaksud dengan 'dikelola dengan baik' itu adalah jumlah utangnya wajar (sebaiknya jangan terlalu tinggi dibandingkan ekuitasnya, maksimal DER 2 kali), jumlah bunganya wajar (9 - 16% per tahun, lebih kecil lebih baik), dan perusahaan memiliki cukup aset untuk membayarnya hingga lunas.
Dan terkait hal ini maka kita tidak bisa memilih saham-saham yang jumlah utangnya tidak terkendali, yang dari waktu ke waktu tidak pernah dilunasi melainkan gali lobang tutup lobang. Misalnya saham-saham Grup Bakrie.
3. Perhatikan seberapa lama perusahaan beroperasi
Dalam contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, tampak jelas bahwa dua asumsi yang berbeda, yaitu asumsi pertama bahwa perusahaan akan beroperasi selama 20 tahun, dan asumsi kedua bahwa perusahaan hanya akan beroperasi selama 10 tahun, ternyata menghasilkan nilai intrinsik yang juga jauh berbeda, yakni 11,427 dan 3,285. Jika pada saat ini CPIN berada di posisi 5,000-an, dan stabil di posisi tersebut (yang itu berarti boleh dikatakan bahwa para pelaku pasar ‘sepakat’ bahwa nilai intrinsik/harga wajar dari CPIN adalah 5,000-an), maka apa itu artinya? Artinya, mayoritas pelaku pasar cukup optimisbahwa CPIN masih bisa membuat pakan ayam dan nugget hingga 10 tahun kedepan, namun tidak cukup optimis bahwa CPIN bisa melakukan itu hingga 20 tahun kedepan. Faktanya, CPIN sendiri berdiri dan beroperasi di Indonesia sudah cukup lama, yaitu sejak tahun 1972, dan penulis tidak tahu bagaimana track record kinerjanya sejak tahun 1972 tersebut, tapi yang jelas sejak tahun 2005 CPIN ini untung terus. Dan kalau dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan lainnya di Indonesia, yang rata-rata memiliki kinerja jangka panjang yang tidak stabil, maka track record cemerlang sejak tahun 2005 tersebut tentunya sudah relatif cukup untuk mengatakan bahwa ‘Saya optimis bahwa CPIN akan bisa terus beroperasi hingga lebih dari 10 tahun mendatang, tapi mungkin nggak sampai 20 tahun juga.’
Contoh lainnya, jika kita pakai UNVR, penulis belum menghitung nilai intrinsik UNVR ini menggunakan rumus diatas, namun dilihat dari PBV-nya yang mencapai 40-an kali, maka UNVR ini jelas sangat-sangat mahal ketimbang CPIN, yang PBV-nya cuma 9.1 kali. Namun tahukah anda kenapa UNVR dihargai jauh lebih mahal? Yap, benar sekali, itu karena perusahaan memiliki rekam jejak yang jauuh lebih lama ketimbang CPIN, yaitu sejak tahun 1933, dan rasio profitabilitasnya juga lebih besar. Artinya, jika untuk CPIN orang masih agak ragu ketika dikatakan bahwa perusahaannya akan bertahan hingga 20 tahun kedepan, maka untuk UNVR, jangankan 20 tahun, hingga 40 tahun kedepan juga orang masih akan percaya bahwa perusahaan ini masih akan tetap beroperasi dengan baik.
Karena itulah, seperti yang sudah disebut diatas, track record kinerja perusahaan dalam jangka panjang di masa lalu sangatlah penting dalam mengukur nilai intrinsik ini. Buffett sendiri lebih suka berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang sudah berdiri dan beroperasi sejak lama, ketimbang perusahaan ‘kemarin sore’, dan itu sebabnya ia juga tidak suka saham-saham IPO. Forbes pernah mengeluarkan daftar ‘100 Perusahaan dari Seluruh Dunia yang akan bertahan hingga 100 Tahun Mendatang’, dan sebagian besar penghuni daftar tersebut merupakan perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi sejak sangaaat lama, seperti Coca Cola, Prudential, Unilever NV, Walt Disney, hingga L’Oreal.
4. Sebaiknya hindari saham komoditas
Dalam menghitung nilai intrinsik, stabilitas kinerja perusahaan sangatlah penting. Itu sebabnya Buffett, meski tidak selalu, berusaha menghindari saham-saham yang laba perusahaannya bergantung pada fluktuasi harga komoditas yang mereka produksi/jual. Contohnya, perusahaan-perusahaan batubara bisa mencetak laba bersih yang besar di satu tahun tertentu ketika harga batubara naik, tapi di tahun berikutnya bisa turun ketika harga batubara turun. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan menganalisis pergerakan harga komoditas tersebut, apakah kedepannya akan naik atau turun, tapi bahkan Buffett-pun tidak bisa melakukannya. Alhasil, ia lebih suka mengambil saham-saham yang harga produknya senantiasa naik terus dari waktu ke waktu seiring inflasi, tanpa fluktuasi yang berarti. Contohnya? Coca Cola. Coba anda cek di supermarket, harga sekaleng Coca Cola, Sprite, dan Fanta memang naik terus bukan?
However, dalam hal ini penulis punya pandangan yang sedikit berbeda. Yang disebut dengan komoditas, seperti emas, minyak, aneka jenis logam, batubara, hingga crude palm oil (CPO), harganya memang berfluktuasi setiap tahun, seperti batubara dan CPO yang pernah mahal di tahun 2010 dan 2011, sekarang menjadi murah meriah, dan pada akhirnya menyebabkan kinerja buruk bagi perusahaan yang memproduksi dua jenis komoditas ini. Namun dalam jangka yang benar-benar panjang, harga dari berbagai jenis komoditas ini akan senantiasa naik karena inflasi dan meningkatnya permintaan seiring bertambahnya jumlah penduduk dunia. Artinya? Jika sewaktu-waktu ada saham yang jatuh karena turunnya harga komoditasnya, contohnya seperti saham-saham batubara dan CPO yang sudah disebut diatas, maka itu justru merupakan buying opportunity, karena nanti kedepannya harga dua komoditas itu akan naik lagi. Dan itu sebabnya, Lo Kheng Hong melalui Kontan.co.id mengatakan bahwa ia pada saat ini justru sedang tertarik untuk membeli saham-saham batubara, dan juga saham perkebunan kelapa sawit, ketimbang saham lainnya.
5. Ambil nilai intrinsik yang terendah, dan belilah saham pada harga maksimal 25% dibawahnya. Lebih dari itu, berarti sahamnya mahal.
Seperti sudah disebut diatas, Buffett hanya memilih saham yang punya track record kinerja puluhan, bahkan ratusan tahun (salah satu saham Buffett, yaitu Coca Cola tadi, pertama kali beroperasi pada tahun 1888, persis 100 tahun ketika Buffett mulai mengkoleksinya tahun 1988). Meski demikian, dalam menghitung nilai intrinsik, Buffett hanya melihat akumulasi laba perusahaan dalam 10 tahun kedepan saja, tidak lebih. Dan entah ada hubungannya atau tidak, namun dalam kaitannya menghitung harga wajar saham menggunakan PER, maka sebuah saham bagus bisa disebut murah kalau PER-nya 10 kali (yang itu berarti, harga sahamnya sama dengan jumlah laba dikali sepuluh tahun), atau kurang dari itu. However, ketika Buffett pertama kali melirik Coca Cola, PER-nya ketika itu mencapai lebih dari 20 kali, yang itu berarti kemungkinan Buffett menyadari bahwa perusahaan ini punya potensi untuk bertahan jauh lebih lama dari sekedar 10 tahun. Dan faktanya hingga hari ini, atau 25 tahun sejak Buffett pertama kali membelinya, Coca Cola masih nongkrong di portofolio Berkshire Hathaway.
Nah, sekarang bagaimana jika saya menemukan saham bagus dengan nilai intrinsik (setelah saya hitung) 1,000, tapi harganya di market 1,500. Apa yang harus saya lakukan? Menurut Buffett, ‘harga saham di pasar seringkali berbeda dengan harga/nilai intrinsiknya, dan seringkali pula hal itu terjadi dalam waktu yang cukup lama. Namun pada akhirnya, harga suatu saham akan bertemu (menjadi sama) dengan nilai intrinsiknya tersebut.’ Artinya, jika anda menemukan bahwa nilai intrinsik saham A adalah 1,000, sementara harganya di market 1,250, maka dengan catatan anda telah menghitung nilai intrinsik tersebut dengan baik, itu berarti hanya ada satu kemungkinan: Market, atau saham itu sendiri, sedang bubble. Dan jika itu terjadi, maka opsi yang terbaik adalah menunggu terjadinya ‘mekanisme alam’, dimana cepat atau lambat bursa saham (IHSG) akan terkoreksi, dan harga-harga saham akan turun hingga mencapai harga wajar/nilai intrinsiknya masing-masing. Dan ketika koreksi tersebut sudah cukup dalam, dimana saham A tadi sudah turun ke katakanlah 750, maka itulah saatnya untuk belanja.
Disisi lain, jika anda menemukan saham B dengan nilai intrinsik 2,000, sementara harganya di market cuma 1,000, maka meski IHSG sedang tinggi-tingginya sekalipun, langsung saja beli saham B tersebut. Buffett, seperti juga value investor lainnya (kalau di Indonesia, Lo Kheng Hong), tidak begitu memperhatikan posisi indeks ketika mengincar suatu saham. Yang mereka perhatikan hanyalah nilai intrinsik dari saham yang mereka incar saja, apakah masih mahal atau sudah cukup murah.
Satu hal lagi, seiring dengan pertumbuhan perusahaan, maka nilai intrinsiknya juga akan terus naik, dan demikian pula halnya dengan harga sahamnya. So, jika anda sewaktu-waktu sudah membeli saham pada harga yang lebih rendah dari nilai intrinsiknya, yaitu ketika terjadi momentum koreksi pasar, maka selanjutnya tinggal duduk saja untuk menonton perusahaan anda bertumbuh, dan juga harga sahamnya.
6. Perhatikan ekonomi makro
Dari contoh perhitungan nilai intrinsik diatas, disebutkan bahwa ketika kita hendak mendiskon nilai saham di masa yang akan datang agar diperoleh nilainya pada saat ini, maka kita bisa menggunakan tingkat suku bunga sukuk sebagai patokan, yang sebesar 6.25% tadi. However, bunga sukuk tidak selalu 6.25% per tahun, melainkan berubah-ubah setiap saat tergantung inflasi, dimana jika inflasi meningkat, maka bunga sukuk juga akan meningkat. Dan jika bunga sukuk meningkat, maka harga saham akan semakin terdiskon, alias semakin rendah, atau dengan kata lain: Nilai intrinsik suatu saham akan semakin rendah ketika inflasi meninggi.
Dalam kondisi perekonomian negara yang normal, tingkat inflasi memang berubah setiap saat, namun pada akhirnya akan menemui titik keseimbangan di level tertentu. Contohnya untuk Indonesia, rata-rata inflasinya sejak selesainya krismon 1998 adalah 7% per tahun (atau tepatnya 6%, jika mengabaikan perubahan kenaikan inflasi yang signifikan di tahun 2008), dengan inflasi pada saat ini 5.5% (atau 5.9%, barusan udah berubah lagi). Tapi tahukah anda, berapa tingkat inflasi kita di tahun 1998 dan 2008? Percaya atau tidak, inflasi kita di tahun 1998 pernah mencapai 82.4%, dan 12.1% di tahun 2008. Dan menurut anda, bagaimana nasib saham-saham di BEI ketika itu?
However, bagi investor jangka panjang, yang patut diwaspadai disini adalah jika terjadiperubahan signifikan dalam perekonomian makro, dimana inflasi, dan juga indikator perekonomian lainnya, berubah jauh lebih besar dari biasanya, seperti yang terjadi pada 1998 dan 2008 lalu. Sementara perubahan kecil-kecil yang terjadi hampir setiap saat, misalnya seperti inflasi yang bisa dipastikan akan naik karena kenaikan harga BBM, itu tidak begitu penting. Sama halnya seperti harga saham yang naik turun setiap saat, itu juga tidak penting selama laba perusahaan serta nilai intrinsik sahamnya terus bertumbuh. Tapi jika anda lebih condong sebagai trader, maka hal ini jelas penting.
Kesimpulan
Okay, sebenarnya selain 6 poin diatas, di kepala penulis masih ada banyak lagi pembahasan soal ‘menghitung nilai intrinsik’ ini, sehingga artikel ini sejatinya belum selesai, karena ternyata hal ini memang merupakan inti utama dari berinvestasi di saham secara keseluruhan. Namun berhubung artikelnya sudah cukup panjang, maka untuk sekarang ini kita simpulkan saja dulu artikel diatas. Kesimpulannya, jika kita berniat untuk berinvestasi jangka panjang, maka jangan kompromi dengan saham ‘abal-abal’, melainkan pastikan bahwa saham yang anda pilih benar-benar bagus. Dan kriteria dari saham bagus tersebut minimal ada tiga:
- Punya track record kinerja yang bagus, dan senantiasa bertumbuh secara stabil dalam jangka panjang, minimal 5 tahun ke belakang, namun lebih lama lebih baik.
- Perusahaan memiliki utang dalam jumlah yang wajar, atau sebaiknya tidak punya utang sama sekali.
- Sebaiknya pilih saham yang kinerja perusahaannya tidak tergantung pada fluktuasi harga komoditas, tapi juga jangan menutup diri jika ada saham komoditas yang memang menarik.
Selanjutnya terkait timing untuk masuk/membeli sahamnya, adalah ketika harga suatu saham turun hingga lebih rendah minimal 25% dibanding nilai intrinsiknya (selisih 25% ini kemudian disebut margin of safety), dan itu biasanya baru terjadi ketika market atau IHSG dilanda koreksi, entah besar atau kecil. Karena dalam kondisi normal, harga saham biasanya mengikuti/sama dengan nilai intrinsiknya masing-masing, atau bahkan lebih tinggi jika market sedang bullish.
Disisi lain, jangan lupa untuk memperhatikan perubahan signifikan dalam perekonomian makro, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Karena jika kejadiannya seperti tahun 1998, atau 2008, maka tak peduli sebagus apapun fundamental sebuah saham, semurah apapun harganya, maka tetap saja dia akan turun, hingga ke posisi yang tidak pernah anda bayangkan sebelumnya.
Sumber; Indonesia Value Investing